SINDROMA DISCHARGE VAGINA
Sindroma Discharge Vagina (SDV) adalah sekelompok penyakit infeksi menular seksual yang sering kali muncul pada sebagian wanita yang memberikan gejala keluarnya cairan putih hingga kekuningan melalui vagina. Masyarakat Indonesia biasa menyebut penyakit ini dengan nama keputihan.
Prevalensi SDV pada Negara berkembang cukup tinggi. Suatu community-based survey pada 3000 wanita di India diperoleh hasil bahwa 14,5% di antaranya menderita Sindroma Discharge Vagina (Patel et al 2005). Angka tergolong cukup besar. Hal ini membuat kami tergerak untuk mengulas lebih lanjut mengenai Sindroma Discharge Vagina.
Terdapat berbagai faktor predisposisi bagi wanita untuk dapat mederita Sindroma Discharge Vagina. Faktor-faktor tersebut antara lain (Ainbinder et al 2007) :
1. Hygiene
Kebersihan vagina dapat mempengaruhi Sindroma Discharge Vagina. SDV yang disebabkan karena jamur akan semakin memburuk keadaannya jika wanita tersebut tidak dapat menjaga genitalia eksterna agar tetap kering dan bersih.
2. Hubungan Seksual
Multiple partner adalah penyebab utama tersebarnya SDV, mengingat penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita. Anal seks juga dapat menjadi pencetus munculnya SDV karena di dalam anus terdapat berbagai macam bakteri terutama jenis Enterobacter sp.
3. Pemakaian Kondom Saat Coitus
Kondom biasa dipakai sebagai alat kontrasepsi karena dapat mencegah masuknya sperma ke dalam cavum uteri. Namun tidak hanya itu, kondom dapat digunakan untuk mencegah penularan SDV dimana biasanya bakteri terkandung di dalam cairan semen laki-laki penderita Sindroma Discharge Urethra.
Berdasarkan penyebabnya, Sindroma Discharge Vagina dibagi menjadi beberapa penyakit. Penyakit-penyakit yang digolongkan sebagai Sindroma Discharge Vagina antara lain vaginosis, trikomoniasis, candidiasis, servisitis gonorrhea, dan servisitis non gonorrhea.
Vaginosis
Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi vaginosis mencapai 10% (Munzila & Wiknjosastro 2007)
Penyebab
Bacterial vaginosis adalah infeksi ringan pada vagina. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan bakteri normal vagina. Namun, tidak diketahui pasti mengapa terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan bakteri. Kondisi ini biasa disebabkan oleh bakteri Gardnerella vaginitis.
Seorang wanita biasanya tidak mendapatkan infeksi ini dari pasangan seks. Hal ini paling sering terjadi pada wanita yang aktif secara seksual, tetapi wanita yang tidak aktif secara seksual pun juga dapat meningkatkan kondisi ini.
Walaupun infeksi ini tidak dianggap berbahaya, bakterial vaginosis harus diobati dengan antibiotik. Jika tidak diobati, bakteri dapat menyebar ke dalam saluran rahim atau tuba dan menyebabkan infeksi yang lebih parah. Metronidazol dan Clindamycin (Cleocin) adalah contoh antibiotik yang efektif dalam mengobati bacterial vaginosis.
Setelah pengobatan, kondisi umumnya sembuh tanpa komplikasi, tetapi 15% dari perempuan mengalami gejala-gejala berulang yang perlu ditangani dengan antibiotik lini kedua.
Vaginosis bakteri dapat menyebabkan masalah serius pada kehamilan termasuk persalinan prematur, kelahiran prematur, infeksi cairan ketuban, dan infeksi rahim setelah melahirkan. Screening untuk bacterial vaginosis dan pengobatan selama kehamilan dapat membantu mencegah komplikasi ini.
Gejala (Cunningham et al 2005)
• Kebanyakan wanita dengan bacterial vaginosis asimptomatik
• Discharge vagina tampak kuning atau abu-abu krem dan berbau amis.
• Mukosa vagina terlihat normal, pH vagina > 4,5
• Biasanya tidak disertai rasa nyeri, gatal, dan terbakar
• Bila terdapat bacterial vaginosis, biasanya tedapat infeksi penyerta
Gambar 1. Vaginosis. Discharge putih menempel di dinding vagina dan portio cervix.
PatofisiologiKeadaan pada bakterial vaginosis, flora normal vagina diubah melalui mekanisme yang belum jelas, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan pH lokal. Hal ini mungkin karena terjadi pengurangan Laktobacillus sp. di vagina yang kemudian menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sp. adalah organisme berbentuk batang besar yang membantu menjaga pH asam vagina dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme anaerob lain melalui elaborasi hydrogen peroksida. Biasanya, Lactobasillus sp. ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada vagina sehat. Pada bakterial vaginosis, populasi laktobasilus sangat berkurang, sementara populasi berbagai anaerob dan Gardnerella vaginitis meningkat sehingga menyebabkan infeksi bakteri di daerah dinding vagina (Morgan & Haminton 2003).
Diagnosis (Morgan & Haminton 2003)
1. Uji bau discharge dengan menggunakan kalium hidroksida.
2. Temuan mikroskopis pada sediaan basah sel penanda yaitu sel epitel yang tampak berpasir karena dikelilingi bakteri Gardnerella vaginitis.
3. Melakukan pap-smear.
Terapi (Morgan & Haminton 2003)
1. Pengobatan primer
• Metronidazol 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari (oral)
• 0,75% metronidazol gel (menggunakan aplikator intravaginal setiap hari selama 5 hari)
• krim klindamisin 2% (menggunakan aplikator intravaginal pada waktu tidur selama 7 hari
2. Pengobatan Alternatif
• Tinidazole 2 g satu kali sehari selama 2 hari (oral)
• Tinidazole 1 g satu kali sehari selama 5 hari (oral)
• Klindamisin 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari (oral)
• ovula klindamisin 100 mg intravaginal satu kali pada waktu tidur selama 3 hari
• metronidazol extended-release 750 mg sekali sehari selama 7 hari (oral)
3. Pasien Hamil
• Metronidazol 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari (oral)
• Metronidazol 250 mg 3 kali sehari selama 7 hari (oral)
• klindamisin 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari (oral)
4. Pasien alergi terhadap metronidazol
• krim klindamisin digunakan intravaginal pada pasien alergi atau intoleransi metronidazol
5. Infeksi berulang
• Metronidazole gel 0,75% (menggunakan aplikator penuh secara intravaginal dua kali seminggu selama 4-6 bulan)
• Pengobatan pada mitra belum terbukti dapat menurunkan tingkat kekambuhan
6. Adjunctive terapi
• Probiotik (Lactobacillus rhamnosus, L acidophilus, dan Streptococcus thermophilus) kapsul vagina setiap hari selama 7 hari, ulangi 7 hari kemudian.
7. Organisme khusus terapi
• etiologi spesifik tidak biasa untuk menegakkan diagnosis bacterial vaginosis
Trikomoniasis
Penyebab
Trikomoniasis disebabkan oleh mikroba yang bernama Trichomonas vaginalis, yaitu sejenis protozoa berflagel yang hidup anaerob (Mansjoer 2000).
Gejala
Pada kasus akut terlihat discharge vagina berwarna kekuning-kuningan atau kuning hijau,berbau tidak enak, dan berbusa. Dinding vagina kemerahan dan sembab. Terkadang terbentuk abses kecil yang tampak sebagai granulasi kemerahan, yang dikenal sebagai strawberry appereance. Sekret yang banyak dapat menimbulkan iritasipada lipat paha atau disekitar genital eksterna. Dapat pula terjadi urethritis, bartholinithis, skenitis, dan sistitis. Pada kasus kronik, gejala lebih ringan dan sekret biasanya tidak berbusa (Mansjoer 2000).
Gambar 2. Trichomoniasis. Discharge pada dinding vagina, tampak putih berbuih banyak.
Patogenesis
T. vaginalis menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi mencapai jaringan epithel dan subepithel (Mansjoer 2000).
Treatment
Pengobatan dilakukan dengan topikal dan sistemik. Pengobatan topikal menggunakan irigasi dengan hidrogen peroksida 1-2% dan larutan asam laktat 4%, bahan supositoria yang bersifat trichomoniasidal, atau gel dan krim. Sedangkan untuk pengobatan sistemik menggunakan metronidazol per oral, dosis tunggal 2 g atau 3 x 200 mg per hari selama 7 hari. Nimorazol dan Tinidazol per oral dengan dosis tunggal 2 g, dan ornidazol dosis tunggal satu setengah gram. Penderita dinyatakan sembuh bila keluhan dan gejala telah menghilang, serat parasit tidak ditemukan lagi pada pemeriksaan sediaan langsung.
Kehamilan trimester pertama pertama merupakan kontra indikasi pemberian metronidazol. Namun, karena telah banyak bukti menunjukkan kaitan infeksi T.vaginalis dengan preterm labor serta tidak ada bukti bahwa metronidazol bersifat teratogenik pada manusia, maka metrodinazol dapat diberikan dalam dosis efektif terendah pada trimester kedua atau ketiga (Mansjoer 2000).
Perlu dianjurkan terhadap pasangan seksualnya untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan, tidak melakukan hubungan seksual selama pengobatan sebelum dinyatakan sembuh dan menghidari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.
Candidiasis
Epidemiologi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa penyebab keputihan yang paling banyak adalah candidiasis vagina (Darmani 2002).
Penyebab
Biasanya disebabkan oleh spesies Candida albicans (Pudjiati 2011).
Gejala
Biasanya sering terdapat pada penderita diabetes mellitus karena kadar gula darah dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epithel vagina. Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada candidiasis yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah miksi, dan dispaneuria. Pada pemeriksaan yang ringan tampak hyperemia di labia minor, introitus vagina, dan vagina terutama 1/3 bagian bawah. Sering pula terdapat kelainan yang khas yaitu bercak-bercak putih kekuningan. Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia minora dan ulkus-ulkus yang dangkal pada labia minora dan sekitar introitus vagina. Fluor albus pada kandidosis vagina berwarna kekuningan. Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala susu berwarna kekuningan. Gumpalan tersebut berasal dari massa yang terlepas dari dinding vulva atau vagina terdiri atas bahan nekrotik, sel-sel epitel, dan jamur (Djuanda 2007).
Gambar 3. Candidiasis. Discharge kental tampak melekat di dinding vagina.
Patofisiologi
Proses infeksi dimulai dengan perle¬katan Candida sp. pada sel epitel vagina. Kemampuan melekat ini lebih baik pada C.albicans daripada spesies candida lain¬¬nya. Candida sp. kemudian men¬ye¬kre¬¬sikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan ikatan-ikatan protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida sp. juga me¬ngeluarkan mikotoksin, diantaranya glio¬toksin– yang mampu menghambat ak¬tivi¬tas fagositosis dan menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Can¬di¬da sp. memudahkan proses invasi ter¬sebut berlangsung sehingga menimbul¬kan gejala pada host.
Koloni candida akan meningkatkan be¬ban antigenik yang selanjutnya menimbulkan peralihan dari tipe Th1 menjadi Th2. Transformasi yang dominan ke Th2 justru menghambat proteksi dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas segera (tipe 1). Lebih lanjut, reaksi proteksi lokal imunitas selular pada mukosa vagina dapat berkurang atau hilang bersamaan dengan meningkatnya reaksi alergi.
Interleukin (IL)-1 memicu Th1 untuk memproduksi IL-2. IL-2 akan merangsang pembentukan Th1 lebih banyak. Th1 memproduksi IFN-gamma yang berfungsi menghambat pembentukan germ tube. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 berhu¬bung¬an dengan reaktivitas Th2, yang menghasilkan IL-4 dan meningkatkan produski IgE melalui sel B serta lepasnya PGE2. PGE2 selanjutnya menghambat pro¬liferasi dan produksi dari IL-2. Maka dari itu, adanya PGE2 akan menghambat ke¬mampuan proteksi mukosa vagina ter¬ha¬dap Candida. Selain itu, PGE2 juga meng¬hambat aktivitas makrofag. Dengan kata lain, PGE2 merupakan down regulatory biological response modifier.
Sekitar 71% sekret vagina penderita kandidiasis vulvovagina rekurens (KVVR) dapat ditemukan IgE dan PGE2 sehingga reaksi hipersensitivitas tipe I membe¬ri¬kan respons yang akan merangsang terbentuknya IgE dan meningkatkan virulensi jamur melalui pembentukan germ tube atau melalui supresi pertahanan lokal pe¬jamu. Di samping itu, reaksi hipersensitivitas tipe I menimbulkan tanda dan ge¬ja¬la kandidosis vaginal seperti kemerahan, gatal, terbakar dan bengkak.
Dalam dinding sel Candida terdapat bahan polidispersi yang mempunyai berat molekul tinggi yang menginduksi prolife¬ra¬si limfosit, produksi IL-2 dan IFN-gama, serta membangkitkan perlawanan sito¬tok¬sik sel NK. MP65 yang terdapat di da¬lam dinding sel C. albicans merupakan an¬¬tigen yang imunodominan untuk res¬pons imunitas selular pada manusia normal dan mampu menstimulir produksi IL-1b, IFN-g, serta IL-6) (Djuanda 2007).
Treatment
Pengobatan kandidosis vulvovaginitis dengan obat anti kandida topikal krim maupun tablet vaginal. Preparat azol lebih efektif daripada nistatin. Pengobatan menghasilkan penyembuhan 80-90% (Djuanda 2007).
a. Pengobatan topikal :
- mikonazol 200 mg intravaginal/hari selama 3 hari
- klotrimazol 200 mg intravaginal/hari selama 3 hari
- klotrimazol 500 mg intravaginal dosis tunggal
- butoconazol 2% krim vulva diberikan selama 1-7 hari
- nistatin 100.000 IU intravaginal/hari selama 7-14 hari
- klotrimazol 1 % atau mikonazol 2 % atau tiokonazol 6,5% krim vulva 7-14 hari
b. Pengobatan sistemik :
Beberapa uji coba menunjukkan hasil pengobatan oral dengan flukonazol, ketokonazol, atau itrakonazol sama efektifnya dengan pengobatan topikal. Penggunaan secara oral memang lebih mudah, tetapi potensi toksisitasnya khususnya ketokonazol harus dipertimbangkan.
- Pemberian nistatin secara oral tidak terbukti efektif untuk pengobatan kandidosis vulvovaginitis.
- Pemberian ketokonazol dosis 2 x 200 mg selama 5 hari, atau
- Flukonazol 150 mg sebagai dosis tunggal
- Untuk pengobatan kandidosis vulvovaginitis kambuhan atau rekuren:
- Pengobatan setiap bulan dengan satu klotrimazol 500 mg intravaginal,
- Ketokonazol 200 mg/hari selama 5 hari setiap bulan, atau
- Flukonazol 150 mg oral setiap bulan.
c. Untuk pengobatan profilaksis :
Flukonazol 150 mg dosis tunggal setiap minggu sampai bulan dengan monitor enzim liver 1-2 bulan. Flukonazol ditoleransi baik dan aman, dan merupakan pengobatan standar kandidosis vulvovaginitis yang mengalami kekambuhan, tidak seperti ketokonazol yang hepatotoksik. Penggunaan selama 6 bulan tidak mengakibatkan resisten terhadap flukonazol, penggunaan flukonazol pada orang yang imunodefisiensi dapat mengakibatkan resistensi.
d. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.
Sangat perlu mengendalikan faktor ri¬si¬ko dan sebaiknya tidak melakukan hubungan seksual se¬be¬lum di¬nyatakan sembuh atau mengguna¬kan kondom. Pasangan juga perlu diobat apabila terbukti menderita candidiasis. Hin¬dari pula pemakaian bahan iritan lo¬kal, seperti produk berparfum.
Servisitis Gonorrhea
Penyebab
Cervicitis gonorrhea adalah peradangan pada dinding rahim (cervix) yang disebabkan oleh bakteri N.gonorrhea yang merupakan bakteri gram negatif. Patophysiology:
Cervicitis disebabkan oleh infeksi bakteri menular seksual. Infeksi pada serviks dapat menyebabkan terjadi peradangan dan bisa disertai dengan vulvovaginitis. Cervicitis dengan discharge mucopurulen adalah diagnosis klinis, satu biasanya ditandai dengan kerapuhan dari leher rahim, discharge mukopurulen dari os, dan peningkatan jumlah polimorf di sekret endoserviks. Infeksi yang menyebar ke atas dapat menyebabkan endometritis, salpingitis, abses tuboovarian, atau perihepatitis.
Kadang-kadang, kondisi tersebut dapat disebabkan oleh variabel lain selain PMS. Penyebab lain yang mungkin adalah adanya respon terhadap perangkat yang dimasukkan ke dalam daerah pinggul (yaitu cervical cap, pessary, diaphragm) atau alergi terhadap spermisida atau lateks kondom (Adler et al 2004).
Gejala
Wanita yang mengalami cervicitis biasanya tidak mengalami gejala, hanya ditemukan discharge berwarna kekuningan, putih, atau abu-abu. Pasien biasanya mengalami erythema pada cervix dan keluar discharge, namun pasien tidak merasakan adanya keluhan. Pada beberapa kasus pasien dapat mengalami adanya rasa tertekan dan tidak nyaman pada area pelvic. Selain itu pasien mengalami rasa sakit saat berhubungan seksual (Chandran 2008).
Gambar 4. Cervicitis Gonorrhea. Discharge yang tampak pada endoservik.
Diagnosis
Pemeriksaan discharge dengan mikroskop biasanya menunjukkan lebih dari 5 leukosit per bidang daya tinggi. Kebanyakan pedoman merekomendasikan praktek ambang 10-30 polymorphonuclear (PMN) leukosit per bidang daya tinggi untuk mendukung diagnosis cervicitis mukopurulen dan DGNI positif. Pengecatan Gram dari cervical mucopus akan menunjukkan bakteri Gram negative diplococcus. Kultur pada media Thayer-Martin yang dimodifikasi adalah standar kriteria untuk mengkonfirmasikan gonorrheae. Enzyme-linked immunosorbent assay or direct fluorescent antibody testing sering digunakan untuk mendeteksi infeksi klamidia. DNA probe dengan sensitivitas 90-97% juga tersedia untuk mendeteksi simultan organisme gonococcal dan klamidia (Chandran 2008).
Treatment
Pasien diberikan antibiotik dengan pilihan salah satu dari (Chandran 2008):
Cefixime 400 mg orally in a single dose,
Ceftriaxone 125 mg IM in a single dose,
Ciprofloxacin 500 mg orally in a single dose,
Ofloxacin 400 mg orally in a single dose,
Levofloxacin 250 mg orally in a single dose,
Azithromycin 1 g orally in a single dose,
Doxycycline 100 mg orally twice a day for 7 days.
Seperti terapi jenis SDV yang lain, sebaiknya pengobatan dilakukan pada pasangan berhubungan seks, dan juga abstinence hingga sembuh total.
Servisitis Non Gonorrhea
Servisitis yang disebabkan oleh bakteri selain N. gonorrhea digolongkan ke dalam sevisitis non gonorrhea. Gejala yang muncul pada servisitis non gonorrhea sama dengan servisitis gonorrhea. Yang membedakan adalah, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel PMN sejumlah >30 buah dan DGNI negatif.
Memang, Sindroma Discharge Vagina adalah penyakit yang relatif mudah disembuhkan. Namun alangkah lebih baiknya jika kita mencegah penularan SDV. Pencegahan SDV dapat ditempuh dengan cara (Mansjoer et al 2000) :
1. Melakukan perilaku seksual yang aman.
Pilihan perilaku seksual yg aman:
A = abstinence. Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah .
B = be faithful. Setia pada pasangan.
C = condom. Gunakan condom saat berhubungan seksual.
Mengganti hubungan seks penetratif berisiko tinggi dengan hubuangan seks non-penetratif berisiko rendah. Perilaku berisiko tinggi misalnya perilaku yang menyebabkan seseorang terpapar dengan darah, semen, cairan vagina yang tercemar mikroba penyebab SDV).
2. Menyampaikan perlunya mengubah perilaku seksual kepada pasangan.
3. Mendukung keputusan perubahan perilaku seksual yg dipilih, misalnya program peningkatan penggunaan condom.
Referensi :
Adler, M, Cowan, F, French,P, Mitchell, H, Richens, J 2004, ABC of Sexually Transmitted Infections, Fifth Edition, BMJ Books, London.
Ainbinder, SW, Ramin, SM, & DeCherney, AH. 2007, Current Medical Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, McGraw-Hill, New York.
Chandran, L 2008, ‘Pediatric Cervicitis’, in Emedicine, accessed 3 March 2011, from
2 komentar:
bgus bwt pmblajarsn
bagus banget! sangat jelas. terimakasi
Posting Komentar