TREMATODA

Jumat, 25 Maret 2011
TREMATODA

Cacing daun adalah cacing yang termasuk kelas Trematoda filum Platyhelmintes dan hidup sebagai parasit.
Pada umumnya cacing ini bersifat hermafrodit kecuali cacing Schistosoma. Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas Digenea, yang hidup sebagai endoparasit.

Hospes
Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitive cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung, musang, harimau dan manusia.
Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam:
1. Trematoda hati (liver flukes): Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
2. Trematoda usus (intestinal flukes): Fasciolopsis buski, Echinostomatidae dan Heterophyidae.
3. Trematoda paru ( lung flukes): Paragonimus westermani.
4. Trematoda darah ( blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.

Distribusi Geografik
Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, Heterophyidae di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi Tengah.

Morfologi dan Daur Hidup
Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetri bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya adalah terdapatnya 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut. Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernafasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai dengan gangliondi bagian dorsal esofagus, kemudian terdapat saraf yang memanjang dibagian dorsal, ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit denagn alat reproduksi yang kompleks.
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau dijaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisis sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasidium telur menetas di dalam air (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisis sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telu matang menetas bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk kedalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang di air; dalam waktu 24 jam kmirasidium harusn sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi sebagai hospes perantara pertama atau HP1. Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring, dan sekum. Didalam sporokista dua / redia (R) , larva berkembang menjadi serkarian (SK).
Perkembangan larva dalam hospes perantara satu terjadi sebagai berikut:
M→S→R→SK : Misalnya Clonorsis sinensis
M→S1→S2→SK : Misalnya Schitosoma
M→S→R1→R2→SK : Misalnya Trematoda lainnya


Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu, dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada Schistosoma. Dalam hospes perantara dua serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes perantara dua yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsanga setempat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing daun yang hidupdi rongga usus biasanya tidaka memberi gjala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan batuk darah(hemoptisis). Cacing yang hidup di salyuran empedu hati seperti Clonorchis, Opistrhorchis dan Fasciola dapat menimbulakn rangsangan dan menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainya adalah peradangan hati sehingga terjadi hepatomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya mengakibatkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya fibrosis jaringan alat yang di infiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.



TREMATODA HATI
Clonorchis sinensis


Sejarah
Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 di saluran empedu pada seorang Cina di Kalkuta.

Hospes dan Nama penyakit
Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut Klonorkiasis.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autotokton.

Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan di saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10- 25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu.
Telur dikeluarkan melalui tinja. Telur menetas bila dimakan keong air atau Bulinus, Semisulcospira. Dalam keong air, mirasedia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua, yaitu ikan ( famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit dibawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria.
Perkembangan larva dalam keong air sebagai berikut:
M→S→R→SK
Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk kedalam duktus koledokus, lalu menuju kesaluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan.


Patologi dan Gejala Klinis
Sejak larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran empedu dan penebalan diding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan kebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema.
Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadiidak ditemukan gejala. Stadium progresifum ringan ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri atas pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati.

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalm cairan duodenum.

Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel.

Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaraan penyakit.
Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak dengan b aik serat pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai.

Opistorchis felineus

Hospes dan Nama penyakit
Kucing, anjing dan manusia merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut opistorkiasis.

Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan di Eropa Tengah, Selatan dan Timur, Asia, Vietnam dan India.

Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 7-12 mm ,mempunyai batil isap mulut dan perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Telur Opistrochis mirip telur C. Sinensis, hanya bentuknay lebih langsing.
Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan yang ditimbulkan cacing ini sama dengan yang ditimbulkan C.sinensis.

Opistorchis viverrini

Daerah endemi ditemukan di Muangthai. Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip Opistorchis felineus. Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria.
Di daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis. Hal ini diduga karena ada peradangan kronik saluran empedu. Selain itu berhubungan juga dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara O.viverrini.

Fasciola hepatica

Hospes dan Nama penyakit
Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. Kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Penyakit yang ditimbulkan disebut fasioliasis.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Amerika Latin, Perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia.

Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30 x 13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ± 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yng besarnya ±1,6mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang.

Telur cacing ini berukuran 140-90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (lymnaea spp). Dalam keong air tejadi perkembangan:
M→S→R1→R2→SK
Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan lapisan sel epitel saluran empedu.
Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria.


Patologi dan Gejala Klinis
Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Selama migrasi (face akut) dapat tidak bergejala atau menimbulkan gejala seperti demam, nyeri pada bagian kanan atas abdomen, hepatomegali, malaise, urtikaria, eosinofilia. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan, sehingga menimbulkan sirosis periportal. Sekresi prolin oleh cacing dewasa diduga menjadi penyebab penebalan dinding saluran empedu. Migrasi cacing dewasa muda dapat terjadi di luar hati(ektopik) seperti pada mata, kulit, paru, otak. Gejala yang timbul tergantung pada organ tempat migrasi larva.
Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum atau cairan empedu. Reaksi serologi (ELISA) sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Imunodiagnosis yang lebih sensitif dan spesifik-spesifik telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori yang dikeluarkan parasit. Ultrasonogafi digunakan untuk menegakkan diagnosis fasioliasis bilier.

Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan Albendazol dan prazikuantel



.
TREMATODA PARU
Paragonimus westermani


Hospes dan Nama penyakit
Manusia dan binatang pemakan ketam/udang batu seperti kucing, anjing, musang, harimau, serigala dan lain-lain merupakan hospes parasit ini.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Jepang, Korea, Filipina, Thailand, India, Malaysia, Afrika, Amerika Latin dan Vietnam. Di Indonesia ditemukan autokton pada binatang, sedangkan pada manusia hanya paad kasus impor saja.

Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8-12 x 4-6 mm dan berwarna coklat tua. Batil isap perut hampir mirip dengan batil isap mulut. Testis berlobus terletak berdampingan antara batil isap perut dan ekor. Ovarium terletak dibelakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80-118 mikron x 40-60 mikron dengan operkulum agak tertekan kedalam. Telur keluar bersama tinja atau suptum, dan berisi sel telur.
Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong air dan dalam keong air tejadi perkembangan:
M→S→R1→R2→SK
Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II, yaitu ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya.
Infeksi terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.

Dalam hospes definitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk kerongga perut, menembus diafragma dan menuju keparu. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya.

Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura. Kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.

Pengobatan
Prazikuantel dan bitionol adalah obat pilihan.

Epidemiologi
Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan cara masak ketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.

Trematoda usus

Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari keluarga Fasciolidae, Echinostomatidae dan Heterophydae. Dalam daur hidup termatoda usus tersebut, seperti pada trematoda lain, diperlukan keong sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium menjadi sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria. Serkaria yang dibentuk dari redia, kemudian melepaskan diri untuk keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam air. Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa keong jenis lain yang lebih besar, beberapa jenis ikan air tawar, atau tunbuh-tunbuhan air.\
Manusia mendapat penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara II yang tidak dimasak sampai matang.

Keluarga Fasciolidae
Sejarah
Cacing trematoda Fasciolopisis buski adalah suatu trematoda yang didapatkan pada manusia atau hewan. Trematoda tersebut memiliki ukuran terbesar diantara trematoda lain yang ditemukan pada manusia.
Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Busk (1843) pada autopsi seorang pelaut yang meninggal di London.

Hospes dan Nama penyakit
Kecuali manusia dan babi yang menjadi hospes definitive cacing tersebut, hewan lain seperti kucing, anjing dan kelinsi juga dapat dihinggapi. Penyakit yang disebabkannya disebut fasiolopsiasis.

Distribusi Geografik
Fasciolopsis buski adalah cacing trematoda yang sering ditemukan pada manusia dan babi di RRC. Cacing ini juga dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Vietnam, Thailand, India dan Indonesia.

Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5 cm dan lebar 0,8-2,0 cm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari perifaring yang pendek,faring yang menggelembung, esofagus yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua identasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem di bagian poterior cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum, meliputi badan cacing setinggi batil isap perut sampai keujung badan. Ovarium bentuknya agak bulat. Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing, untuk bermuara pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap perut.
Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operkulum yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130-140 mikron dan lebar 80-85 mikron. Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15000-48000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut dalam air bersuhu 27°-32°C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu. Mirasidium yang bersilia keluar dari telur yang menetas, berenang bebas dalam air untuk masuk ke dalam tubh hospes perantara I yang sesuai. Biasanya hospes perantara I tersebut adalah keong air tawar, seperti genus segmentia,Hippeutis, dan Gyraulus. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista yang kemudian berpindah ke daerah jantung dan hati keong. Bila sporokista matang, menjadi koyak dan melepaskan banyak redia induk. Dalam redia induk dibentuk banyak redia anak, yang pada gilirannya membentuk serkaria.

Serkaria, seperti mirasidium, dapat berenag bebas dalam air, berbentuk seperti kecebong, ekornya lurus dan meruncing pada ujungnya, berukuran kira-kira 500 mikron dengan badan agak bulat berukuran 195 mikron X 145 mikron. Badan serkaria ini mirip cacing dewasa yaitu mempunyai batil isap kepala dan batil isap perut. Mirasidium atau serkaria yang dalam batas waktu tertentu belum menemukan hospes, akan punah sendiri. Serkaria dapa berenang dengan ekornya, atau merayap dengan menggunakan batil isap. Serkaria tidak memiliki kecenderungan untuk memilih tumbuh-tumbuhan tertentu untuk tumbuh menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Tumbuh-tumbuhan yang banyak dihinggapi metaserkaria adalah Trapa, Eliocharis, Eichornia dan Zizania. Tumbuh-tumbuhan seperti Nymphoea lotus dan Ipomeea juga dihinggapi metaserkaria. Bila seorang memakan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tanpa dimasak sampai matang, maka dalam waktu 25-30 hari metaserkaria tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam waktu 3 bulan ditemukan telurnya dalam tinja.

Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa Fasciolopsis buski , melekat dengan perantaraaan batil isap perutnya pada mukosa dinding halus seperti duodenum dan yeyunum. Cacing ini memakan isi usus, maupun permukaan mukosa usus. Pada tempat pelekatan cacing tersebut, terdapat peradangan, tukak (ulkus), maupun abses. Apabila terjadi erosi kapiler pada tempat tersebut, maka tinbul pendarahan. Cacing dalam jumlah besar dapat menyebabkan sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut. Pada infeksi berat, gejala intoksikasi dan sensitisasi oleh karena metabolit cacing lebih menonjol, seperti edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Kematiaan dapat terjadi karena keadaan merana (exhaustion) atau intoksikasi.
Gejala klinis yang dini pada akhir inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare yang mulanya diselingi konstipasi, kemudian menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien, napsu makan cukup baik atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami mual, muntah, atau tidak mempunyai selera; semua ini tergantung berat ringannya penyakit.

Diagnosis
Sering gejala klinis seperti diatas bila didapatkan disuatu daerah endemi, cukup untuk menunjukan adanya penderita fasiolopsiasis; namun diagnosis pasti adalah dengan menemukan telur dalam tinja.
Morfologi telur Fascialopsis buski hendaknya dapat dibedakan dari telur cacing Fasciola hepatica, Gastrodiscoides hominis atau Echinochasmus perfiolatus.

Pengobatan
Obat yang efektif untuk cacing ini, adalah diklorofren, niklosamid, dan prazikuantel.

Prognosis
Penyakit fasiolopsiasis yang berat mungkin menyebabkan kematian, akan tetapi bila dilakukan pengobatan sedini mungkin, masih dapat memberi harapan untuk sembuh. Masalah yang penting adalah reinfeksi, yang sering terjadi pada penderita.

Epidemiologi
Infeksi pada manusia tergantung dari kebiasaan makan tumbuh-tumbuhan air yang mentah dan tidak dimasak sampai matang. Membudidayakan tumbu-tumbuhan air di daerah tercemar dengan kotoran manusia maupun babi, dapat menyebarluaskan penyakit tersebut. Kebiasaan defekasi, pembuangan kotoran ternak dan cara membudidiayakan tumbuh-tumbuhan air untuk dikonsumsi harus diubah atau diperbaiki, untuk mencegah meluasnya penyakitb fasiolopsiasis.
Fasiolopsiasis endemik di desa Sei Papuyu, Kalimantan Selatan. Prevalensinya 27,0%. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun, yaitu 56,8%,sedangkan pravelensi pada anak sekolah 79,1%. Survei 12 bulan setelah pengobatan menunjukan prevalensi yang tidak banyak berbeda karena kemungkinan terjadinya reinfeksi.

Keluarga Echinostomatidae
Sejarah

Cacing genus Echinostoma yang ditemukan oleh manusia kira-kiara 11 spesies atau lebih.
Garrison (1907) adalah sarjana yang pertama kali menemukan telur Echinostoma ilocanum pada narapidna pribumi di Filipina. Tubangui (1931), menemukan bahwa Rattus rattus norvegicus, merupakan hospes reservoar cacing tersebut. Chen (1934) meleporkan bahwa anjing setempat di Canton, RRC, dihinggapi cacing tersebut. Brug dan Tesch (1937), melaporkan spesies Echinostoma Lindoense pada manusia di Palu, Sulawesi Tengah, Bonne, Bras dan Lie Kian Joe (1948), menemukan Echinostoma ilocanum pada penderita sakit jiwa di Jawa.
Berbagai sarjana telah melaporkan, bahwa di Indonesia di temukan lima spesies cacing Echinostoma, yaitu: Echinostoma ilocanum, Echinostoma malayanum, Echinostoma lindoense, Echinostoma recurvatum dan Echinostoma revolutum.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes cacing keluarga Echinostomatidae sagat beraneka ragam, yaitu manusia, tikus, anjing, burung, ikan, dan lain-lain (poliksen). Penyakitnya disebut ekinostomiasis.

Distribusi Geografik

Ditemukan di Filipina, Cina, Indonesia dan India.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing Trematoda dari keluarga Echinostomatidae, dapat dibedakan dari cacing trematoda lain, degan adanya cici-ciri khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51 buah. Letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta samping batil isap kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 mm hingga 13-15 mm Dan lebar 0,4-0,7 mm hingga 2,5-3,5 mm.
Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya sebelah lateral, meliputi 2/3 bdan cacing dan melanjut hingga bagian posterior. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, mempunyai warna agak merah ke abu-abuan. Telur mempunyai operkulum, besarnya berkisar antara 103-137 x 59-75 mikron. Telu setelah 3 minggu dalam air, berisi tempayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas, mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I ynag berupa keong jenis kecil seperti genus Anisus, Gyraulus, Lymnaea, dan sebagainya.
Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokist, kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang kemudian membentuk serkaria. Serkaria yang pada suatu saat berjumlah banyak, dilepaskan ke dalam air oleh redia yang berada dalam keong. Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah jenis keong yang besar, seperti genus Vivipar, Bellamya, Pila atau Corbicula.
Ukuran besar cacing, jumlah duri-duri sirkumoral, bentuk testis, ukuran telur dan jenis hospes perantara, digunakan untuk mengidentifikasi spesies cacing.

Patologi dan Gejala Klinis

Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau ulserasi. Pada anak menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan edema.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan

Tetrakloroetolen adalah obat yang dianjurkan, akan tetapi penggunaan obat-obat baru yang lebih aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.

Prognosis

Penderita biasanya tidak menunjukan gejala yang berat, dapat sembuh setelah pengobatan.

Epidemiologi

Keong sawah yang digunakan untuk konsumsi sebaiknya dimasak smpai matang, sebab bila tidak, metaserkaria dapat hidup dan tumbuh menjadi cacing dewasa.


Keluarga Heterophyidae
Sejarah

Cacing keluarga Heterophyidae adalah cacing trematoda kerdil, berukuran sangat kecil, hanya kurang lebih beberapa milimeter.
Cacing ini pertam kali ditemukan oleh Bilharz (1851) pada autopsi seorang Mesir di Kairo.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes cacing ini sangat banyak, umumnya makhluk pemakan ikan seperti manusia, kucing, anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu.
Nama penyakitnya adalah heterofialisis.

Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Mesir, Turki, Jepang, Korea, RRC, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.
Cacing dari keluarga Heterophyidae adalah: Heterophyes, Metagonimus yokogawai dan Haplorchis yokogawai.
Di Indonesia, Lie Kian Joe (1951) menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada autopsi 3 orang mayat.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dari keluarga Heterophyidae berukuran panjang antara 1-1,7 mm ddan lebar antara 0,3-0,75 mm, kecuali genus Haplorchis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-0,3 mm. Di samping batil isap perut, ciri-ciri khas lain adalah, batil isap kelamin yang terdapat di sebelah kiri belakang.
Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak bulat dan 14 buah folikel vitelin yang letaknya sebelah lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-kelok, letaknya di antara kedua sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai operkulum, berukuran 26,5-30 x 15-17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar/payau, seperti genus Pirenella, Cerithdia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Acanthogobius, Clarias dan lain-lain sebagai hospes perantara II. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi banyak redia induk, berlanjut menjadi banyak redia anak untuk pada gilirannya membentuk banyak serkaria. Serkaria ini menghinggapi ikan-ikan tersebut dan masuk kedalam otot-ototnya untuk tumbuh menjadi metaserkaria.
Manusia mendapatkan infeksi karena makan daging ikan mentah, atau yang dimasak kuarang matang. Pada ikan genus Plectoglossus dan sejenisnya, metaserkaria tidak masuk ke dalam otot, akan tetapi hinggap di sisik dan siripnya.
Metaserkaria yang turut dimakan dengan daging mentah, tumbuh menjadi cacing dewasa dalam 14 hari dan bertelur.

Patologi dan Gejala Klinis

Pada infeksi cacing keluarga Heterophyidae, biasanya stadium dewasa menyebabkan iritasi ringan pada usus halus, tetapi ada beberapa ekor cacing yang mungkin dapat menembus vilus usus. Telurnya dapat menembus masuk aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau otot jantung dan mengakibatkan payah jantung. Kelainan ini terutama dilaporkan pada infeksi cacing Metagonimus dan Haplorchis yokogawai. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang dijaringan otak dan menyebabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas atau kolik dan diare berlendir, serta nyeri tekan pada perut.

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan
Obat yang tepat untuk penyakit cacing ini, adalah prazikuantel.

Prognosis
Penyakit heterofiasis biasanya ringan dan tidak membahayakan, dapat diobati sampai sembuh.

Epidemiologi
Menusia, terutama pedagang ikan dan hewan seperti kucing, anjing dapat merupakan sumber infeksi bila menderita penyakit kucing tersebut. Telur cacing dalam tinja dapat mencemari air serta ikan yang hidup didalamnya. Hospes definitif mendapatkan infeksi karena memakan daging ikan mentah yang mengandung metaserkaria hidup. Ikan yang diproses kurang sempurna untuk konsumsi, seperti fessikh, dapat juga menyebabkan infeksi. Sebagai usaha untuk mencegah meluasnya infeksi cacing Heterophyidae kebiasaan makan ikan mentah harus dihindari.


TREMATODA DARAH
Schistosoma atau Bilharzia
Pada manusia ditenmukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium.
Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

Hospes dan Nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Dibagain ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada didalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, beukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm. Pada umumnya uterus 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama di kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas didalam air. Larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing ini hanya memounyai satu macam hospes perantara yaitu keong air dan tidak ada hospes perantara kedua. Mirasidium msauk kedalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan metaserkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk onfektif cacing Schitosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk kedalam ir yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi cacing adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk kedalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, kecabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa dihati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.


Schistosoma japonicum
Hospes dan nama penyakit
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah, sapi, babi, rusa dan lain-lain.
Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosoma, skistosomiasis japonika, penyakit Katayama atau penyakit demam keong.

Distribusi geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan Lembah Napu.

Morfologi dan Daur hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesentrika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksiasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah Circumoval perecipitin test, Indirect haemagglutination test, Complement fixation test, Fluorescent antibody test dan Enzme linked immunosorbent assay.

Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan Lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain menusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat keong di daerah danau lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau pinggir parit diantara sawah
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah
Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemem Kesehatan melalui Subdirektorat Pembrantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman ( Subdit, P2M $ PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan.

Schistosoma mansoni

Hospes dan nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan skistosomasis usus.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab(Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.

Morfologi dan Daur hidup

Cacing dewas jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan S. Haematobium dan S.japonicum. badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya sama seperti pada S.japonicum, akan tetapi lebih ringan.
Pada penyakit ini splenomegali dapat menjadi berat sekali.
Diaognosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi
Sama seperti pada S.japonicum.

Schistosoma haematobium

Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis kandung kemih. Babon dan kera ain dilaporkan sebagai hospes reservoar.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol, dan berbagai negara Arab (timur tengah, Lembah Nil); tidak ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina ira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.
Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rektum.

Diaognosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi
Sama seperti pada skistosomiasis lainnya.

diambil dari buku parasitologi kedokteran FKUI

schisto, panggilan akrab sehari-harinya cukup keren, tapi siapa yang kira kalo schisto adalah panggilan seekor cacing, Schistosoma japonicum di Indonesia cacing schisto termasuk endemik dan hanya bisa ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah. Danau Lindu termasuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu.
Meski kecil, tapi kalo si schisto ini sudah berada di dalam tubuh manusia, yang mula-mula penderita akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian.
Tidak seperti proses cacingan yang sering kita dengar dan alami, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut kita, tapi langsung menembus pori-pori kita menuju aliran darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati.

Daur hidup dan penularannya

Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing.
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati orang yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur.
Saat ini prosentase prevalensi penyakit cacingan di dataran tinggi lindu juga sudah mulai menurun hingga dibawah 1%, berkat upaya aktif dari pemerintah yang secara rutin melakukan pemantauan.

0 komentar:

Posting Komentar