BAB II
ISI
A.
Clostridum tetani
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom:
|
Bacteria
|
Division:
|
Firmicutes
|
Class:
|
Clostridia
|
Order:
|
Clostridiales
|
Family:
|
Clostridiaceae
|
Genus:
|
Clostridium
|
Species:
|
Clostridium
tetani
|
Karakteristik Umum
-
Morfologi dan identifikasi
Clostridium tetani adalah bakteri yang
terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang berbentuk batang
lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium
tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berflagel peritrik berspora
yang terletak disentral,subterminal maupun terminal. Clostridium tetani tidak
menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak
memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan
gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium tetani resisten
terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat
bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga
resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Bentuk koloni bakteri ini
adalah koloni yang kecil meluas dalam jalinan filamen halus.
-
Biakan
Klostridia hanya tumbuh
pada keadaan anaerob yang tumbuh dengan salah satu cara berikut ini
1.
Lempeng
agar atau tabung biakan diletakkan dalam botol kedap udara, udara dibuang dan
diganti dengan nitrogen dan CO2 10%.
2.
Perbenihan
cair diletakkan dalam tabung panjang yang mengadung jaringan hewan segar
mislanya cincangan daging rebus atau agar 0,1% dan suatu zat pereduksi seperti tioglikolat.
Tabung ini dapat digunakan seperti perbenihan aerob dan pertumbuhan akan terjadi
pada dasar keatas sampai 15mm dari permukaan yang berhubungan dengan udara.
Cara Penularan
Tetanus terutama
ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik
dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi. Bakteri ini
ditemukan di tanah dan feses manusia serta binatang. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Infeksi
terjadi setelah trauma kecil (lecet luka tusuk, infeksi tunggul tali pusat bayi
baru lahir), Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf
motorik menuju ke bagian anterior spinal cord. Eksotoksin yang bekerja pada
sinaptosum dan menutup respons refleks menghambat dari serabut syaraf dan
menyebabkan terjadinya influs-influs yang tak terkendali, daya kerja utamanya
ialah terhadap batang otak dan tanduk depan sumsum tulang belakang.
Pada SSP toksin
mengikat diri pada ganglion di batang otak dan sumsum tulang belakang. Toksin ini
bekerja secara blokade dengan dikeluarkannya mediator penghambat sinapsis
neuron motorik. Hasilnya adalah hiperefleksi dan spasme otot tubuh terhadap
rangsangan apa saja. Masa inkubasi dari 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Gejala
penyakitnya adalah konvulsi kontraksi tonik dari otot tubuh. Biasanya kekakuan
otot dan kejang otot mulai pada tempat infeksi, kemudian otot mulut (risus
sardonicus), kejang otot pengunyah dan punggung yang melengkung seperti busur, hingga kejang otot seluruh tubuh yang disebut
opistotonus, kejang-kejang otot tak sadar yang singkat dan sering setelah
beberapa minggu terjadi kefatalan akibat kelelahan dan kegagalan nafas.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman
Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah Luka-luka
tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas, luka bakar, Fistula
kulit atau pada sinus-sinusnya, luka-luka di bawah kuku, ulkus kulit yang
iskemik, luka bekas suntikan narkoba,bekas irisan umbilicus pada bayi, endometritis
sesudah abortus septic, abses gigi, mastoiditis kronis, ruptur apendiks, abses
dan luka yang mengandung bakteri dari tinja.
Toksin
Costridium
tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu
tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin bersifat hemolisin dan Tetanospaminlah
yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari
kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175
nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Sel
vegetatif Clostridium tetani
menghasilkan tetanospasmin yang terutama dilepaskan bila bakteri tersebut
mengalami lisis. Produksi toksin tampaknya dikendalikan oleh gen dalam plasmid.
Toksin intraseluler itu merupakan polipeptida dengan BM 160.000 yang dapat
dibelah oleh enzim proteolitik (tripsin, kemotripsin, elastase, clostripain,dan
papain) menjadi dua fragmen dengan toksisitas yang lebih tinggi. Toksin murni
mengandung lebih dari 2 x 107 dosis letal mencit per miligram.
Tetanospasmin bekerja terhadap susunan saraf pusat dengan beberapa cara. Toksin
ini menghambat pelepasan asetilkolin sehingga mengganggu transmisi
neuromuskuler. Namun, secara kerja yang paling penting adalah penghambatan
neurospinal postsinaps dengan menghambat pelepasan mediator penghambat. Ini
mengakibatkan kejang otot yang menyeluruh, hiperefleksia dan kejang umum.
Gejala
Masa inkubasi tetanus
umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu
bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan
antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat,
dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh
tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Penyakit ini khas dengan adanya tonik pada otot serang lintang,
biasanya dimulai dari daerah sekitar perlukaan, kemudian otot-otot pengunyahan, sehingga akan mengalami kesukaran dalam mengunyah mulut.
Secara bertahap kejang
tersebut akan melibatkan semua otot seran lintang sehingga akan terjadi kejang
tonik. Adanya ransang dari luar dapat memacu timbulnya kekejangan. Kesadaran
penderita tetap baik dan penyakit terus berlanjut. Kematian biasanya terjadi akibat
kegagalan fungsi pernafasan, yang umumnya 50%.
Secara klinis tetanus
dibedakan menjadi :
1. tetanus lokal
Ditandai dengan rasa
nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat
berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. tetanus umum
Merupakan bentuk
tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan
gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher
dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus
yang me-netap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus.
Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan
kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul
kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalarn kesadaran penuh
3. tetanus sefalik
Jenis ini jarang
dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.Tetanus tipe ini
mempunyai prognosis buruk.
Diagnosa
Tetanus ditegakan
berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi biasanya tidak
diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani dari luka
penderita , yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh
penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat
diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik : Kejang
tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang
mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani
(+).
4. Lab : SGOT, CPK
meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
Penatalaksanaan
dan pengobatan
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10
hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000
Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan
diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena,
dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama
10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2.
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi
yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan
NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U)
diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
-
Serum Anti Tetanus
Serum
Anti Tetanus ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan
terhadap toksin tetanus. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol
0,25% sebagai pengawet. Indikasinya untuk pencegahan dan pengobatan
tetanus.
Komposisi
:
Untuk
pencegahan tiap ml mengandung :
Antitoksin
tetanus 1.500 IU
Fenol
0,25 % v/v
Untuk
pengobatan tiap ml mengandung :
Antitoksin
tetanus 5.000 IU
Fenol
0,25 % v/v
Dosis
dan Cara Pemberian :
1.
Pencegahan tetanus : 1 dosis profilaktik (1.500 I.U.) atau lebih,
diberikan intramuskuler secepat mungkin kepada seseorang yang luka dan
terkontaminasi dengan tanah, debu jalan atau lain-lain bahan yang dapat
menyebabkan infeksi Clostridium tetani. Dua minggu kemudian dilanjutkan dengan
pemberian kekebalan aktif dengan vaksin jerap tetanus, supaya jika mendapat
luka lagi tidak perlu diberi serum anti tetanus profilaktik, tetapi cukup diberi
booster vaksin jerap tetanus.
2.Untuk
pengobatan : 10.000 IU atau lebih, intramuskuler atau intravena, tergantung
dari keadaan penderita.
Efek
Samping
1.Reaksi
anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam
waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2.Serum
sickness; timbul 5 hari setelah suntikan dan dapat berupa demam, gatal-gatal,
eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Sebelum memberi suntikan
serum anti tetanus dengan dosis penuh, sebaiknya dilakukan tes
hipersensitifitas subkutan terutama bagi mereka yang mempunyai penyakit alergi
(asthma, dll).
Penyimpanan
dan Daluarsa
Disimpan
pada suhu 2O - 8OC. kadaluarsa : 2 tahun
Kemasan
ampul
1 ml
: 1.500 IU
2 ml
: 10.000 IU
Vial
5 ml : 20.000 IU
3.
Tetanus
Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4.
Antikonvulsan.
Penyebab utama kematian
pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal
spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle
relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
- Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg
Berat badan / 4 jam (IM)
- Meprobamat 300 – 400
mg/ 4 jam (IM)
- Klorpromasin 25 – 75
mg/ 4 jam (IM)
- Fenobarbital 50 – 100
mg/ 4 jam (IM)
Namun sampai pada saat
ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara
dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian imunisasi telah
dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif( DPT atau DT ).
Pencegahan
Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara.
1.
imunisasi
aktif dengan toksoid
2.
perawatan
luka menurut cara yang tepat ( yang terkontaminasi tanah )
3.
penggunaan
antitoksin profilaksis
4.
selama
kehamilan berikan vaksinasi ulangan untuk merangsang pembuatan antibodi pada
ibunya yang akan melindungi bayi yang akan dilahirkan.
5.
Pemberian
penisilin pada penderita luka
B. Clostridium
botulinum
Kingdom:
|
Bacteria
|
Division:
|
Firmicutes
|
Class:
|
Clostridia
|
Order:
|
Clostridiales
|
Family:
|
Clostridiaceae
|
Genus:
|
Clostridium
|
Species:
|
Clostridium
botulinum
|
Karakteristik Umum
Clostridium
botulinum adalah bakteri anaerobik yang menyebabkan
botulisme. Ini organisme Gram-positif berbentuk batang, motil, dan memiliki
spora yang sangat tahan terhadap sejumlah tekanan lingkungan seperti panas,
asam tinggi dan dapat menjadi aktif dalam asam rendah (pH lebih dari 4,6) serta
kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu berkisar antara 3 ° C untuk 43 ° C (38
° F sampai 110 ° F). Spora memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam
kondisi lingkungan yang merugikan dan menjadi bentuk vegetatif setelah kondisi
menjadi lebih menguntungkan. Clostridium botulinum sering ditemukan
pada tanah dan air. Meskipun bakteri dan spora sendiri tidak menyebabkan
penyakit, produksi toksin botulinum adalah yang menyebabkan botulisme, kondisi
lumpuh serius yang dapat mengakibatkan kematian. Ada tujuh strain C. botulinum
berdasarkan perbedaan antigenisitas antara racun, masing-masing ditandai oleh
kemampuannya untuk menghasilkan neurotoksin protein, enterotoksin, atau
haemotoxin. Tipe A, B, E, dan F botulisme penyebab pada manusia, sementara
jenis C dan D menyebabkan botulisme pada hewan dan burung. Tipe G
diidentifikasi pada tahun 1970 tapi belum ditentukan sebagai penyebab botulisme
pada manusia atau hewan.
Pathogenesis
Botulisme
adalah suatu keracunan akibat memakan makanan dimana Clostridium botulinum
tumbuh dan menghasilkan toksin. Spora Clostridium botulinum tumbuh dalam
keadaan anaerob, bentuk vegetative
tumbuh dan menghasilkan toksin. Ada beberapa cara bakteri Clostridium botulinum masuk kedalam tubuh antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Menelan makanan yang mengandung toksin Clostridium botulinum. Toksin botulinum
dapat ditemukan dalam makanan yang belum ditangani dengan benar atau kaleng dan
sering hadir dalam sayuran kaleng, daging, dan produk makanan laut. Penyebab
paling sering adalah makanan kaleng yang bersifat basa, dikemas kedap udara,
diasap, diberi rempah-rempah, yang dimakan tanpa dimasak lagi.
2. Botulisme pada bayi terjadi ketika bayi menelan C.
Botulinum spora yang berkecambah dan memproduksi toksin dalam intestine.
3. Clostridium botulinum menginfeksi luka dan menghasilkan racun. Toksin dapat
dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
4. Toksemia usus dewasa / kolonisasi terjadi dengan cara
yang sama dengan botulisme pada bayi.
5. Botulisme iatrogenik adalah kecelakaan overdosis
racun, yang telah disebabkan oleh inhalasi disengaja oleh pekerja laboratorium.
Gejala klinis botulisme mulai 18-36
jam setelah konsumsi toksin
dengan kelemahan, pusing dan kekeringan mulut. Mual
dan muntah dapat terjadi. Neurologis segera mengembangkan fitur, termasuk
penglihatan kabur, ketidakmampuan untuk menelan, kesulitan dalam berbicara,
turun dari kelemahan otot rangka dan kelumpuhan pernapasan. Toksin
yang terdapat dalam makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Clostridium botulinum dalam bentuk
vegetatif maupun spora akan terserap oleh bagian atas dari saluran pencernaan
di duodenum dan jejunum lalu melewati aliran darah hingga mencapai sinapsis
neuromuskuler perifer. Racun tersebut
melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa
mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin
terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek
asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme
menyerupai khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari
kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi
terhadapt cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian
otot penelan dan okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan
diplopia menjadi keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran
impuls jantung sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan
cardiac arrest.
Toksin Botulinum
Selama
pertumbuhan Clostridium botulinum dan selama autolysis bakteri, toksin
dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh varaiasi antigenic
toksin (A-G). tipe A,B, dan E (kadang-kadang F) adalah penyebab utama penyakit
pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E
terutama pada hasil ikan. Tipe C mengakibatkan leher lemas pada unggas; tipe D
botiulisme pada mamalia. Toksin merupakan protein neurotoksik (BM 150.000) dengan struktur dan kerja yang
mirip.
Toksin
Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik yang diketahui. Dosis
letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin dirusak oleh pemanasan selama 20 menit pada
suhu 1000C. pembentukan toksin dibawah kendali suatu gen virus.
Beberapa strain Clostridium botulinum pembentuk toksin menghasilkan
bakteriofaga yang dapat menginfeksi strain nontoksigenik dan mengubahnya
menjadi toksigenik. Racun botulinum sangat mirip
dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek
klinis karena mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam
sistem saraf. Botulinum neurotoksin
dominan mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi
motor neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau
kelumpuhan lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun
tetanospasmin yang menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem
saraf pusat, dan efeknya terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.
Toksin botulinum disintesis sebagai rantai polipeptida
tunggal dengan berat molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, racun tersebut memiliki potensi yang
relatif rendah. Toksin
ini dibentuk dari rantai ringan dan rantai berat yang diikat oleh pita
disulfida. Rantai berat diduga untuk mengikat toksin secara spesifik dan kuat
pada ujung saraf motorik dan dengan internalisasi toksin. Rantai ringan
menghambat pelepasan asetilkolin yang diperantai kalsium. Toksin bekerja dengan
menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf-otot,
mengakibatkan paralisis flasid. Toksin dibelah oleh protease bakteri (atau mungkin oleh protease lambung)
untuk menghasilkan dua rantai: rantai cahaya (fragmen A) dengan berat molekul
50 kDa, dan rantai berat (fragmen B), dengan berat molekul 100kDa.
Toksin Aksi
Toksin botulinum adalah spesifik untuk ujung saraf
perifer pada titik di mana neuron motor merangsang otot. Toksin mengikat neuron
dan mencegah pelepasan asetilkolin di celah sinaptik. Rantai berat toksin
mengikat reseptor presinaptik. Daerah yang mengikat molekul toksin terletak di
dekat terminal karboksi dari rantai berat. Terminal amino dari rantai berat
diperkirakan membentuk saluran melalui membran dari neuron yang memungkinkan
rantai cahaya untuk masuk. Toksin (fragmen A) memasuki sel dimediasi oleh reseptor.
Begitu di dalam neuron, jenis toksin yang berbeda mungkin berbeda dalam
mekanisme menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi mekanisme yang sama atau
identik dengan tetanospasmin telah dilaporkan yaitu pembelahan proteolitik
synaptobrevin II. Sel-sel yang terkena gagal untuk melepaskan neurotransmiter,
sehingga menghasilkan kelumpuhan sistem motorik. Sekali rusak, sinaps
diterjemahkan secara permanen tidak berguna. Pemulihan fungsi memerlukan tumbuh
dari akson presinaptik baru dan pembentukan selanjutnya dari sinaps baru.
mekanisme produksin
asetilkolin yang dicegah tidak diketahui. Namun, bukti
terbaru menunjukkan bahwa kedua toksin botulinum serta toksin tetanus tergantung pada
endopeptidases yang membelah protein tertentu yang terlibat dalam
ekskresi neurotransmitter. Kedua racun membelah satu set protein yang disebut synaptobrevins.
Synaptobrevins ditemukan pada vesikel sinaptik neuron, vesikel jawab atas
pelepasan neurotransmitter. Pembelahan proteolitik
synaptobrevin II akan mengganggu fungsi vesikel dan pelepasan neurotransmitter.
Gambaran klinik
Gejala-gejala
dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan gangguan
penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda ), ketidakmampuan
menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar berjalan progresif,
dan kematian terjadi karena paralisis pernafasan atau henti jantung. Gejala
gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar
sepenuhnya. Penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah.
Di
Amerika Serikat, botulisme pada bayi lazim atau lebih lazim ditemui daripada
bentuk klasik botulisme paralitik yang berkaitan dengan memakan makanan terkontaminasi
toksin. Bayi menjadi tidak mau makan, lemah, dan adanya tanda-tanda
paralisis(“floopy baby”). Botulisme bayi mungkin merupakan satu dari sekian
penyebab kematian akibat sindroma kematian bayi yang tiba-tiba. Clostridium
botulinum dan toksin botulinus ditemukan difeses tetapi tidak di dalam serum.
Disimpulkan bahwa spora Clostridium botulinum berada dalam makanan bayi,
mengakibatkan produksi toksin dalam usus. Diduga, merupakan media yang
digunakan untuk spora. Sebagian besar bayi sembuh hanya dengan terapi suportif.
Tes Diagnostic
Laboratorium
Kecurigaan akan
botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinik.
Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan
diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti
Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang
serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia,
penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah dengan paralise lengan,
tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan.
Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa botulisme
adalah
1. CT-Scan
2. pemeriksaan serebro spinalis
3. nerve conduction test seperti electromyography atau
EMG,
4. tensilon test untuk myastenia gravis.
5. Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin
botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari
feses penderita dengan foodborne atau infant botulisme
Pengobatan
Penderita botulisme harus segera dibawa ke rumah sakit.
Pengobatannya segera dilakukan meskipun belum diperoleh hasil pemeriksaan
laboratorium untuk memperkuat diagnosis. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:
1. perangsangan muntah.
2. pengosongan lambung melalui
lavase lambung
3. pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi
usus.
Bahaya terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan.
Tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus
diukur secara rutin. Jika gangguan pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa
ke ruang intensif dan dapat digunakan alat bantu pernafasan. Perawatan intensif
telah mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun 1900
sekarang menjadi 10%. Mungkin pemberian makanan harus dilakukan melalui infus.
Pemberian antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan,
tetapi dapat memperlambat atau menghentikan kerusakan fisik dan mental yang
lebih lanjut, sehingga tubuh dapat mengadakan perbaikan selama beberapa bulan.
Antitoksin diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian
ini pada umumnya efektif bila dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya
gejala. Antitoksin tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena
efektivitasnya pada infant botulism masih belum terbukti.
Antitoksin
yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinum telah dibuat pada hewan. Karena
tipe penyebab pada suatu kasus tertentu biasanya tidak diketahui, antitoksin
trivalent (A, B, E) harus diberikan secara intravena sedini mungkin dengan
hati-hati. Bila perlu, ventilasi yang adekuat harus dipertahankan oleh
respirator mesin. Secara eksperimental
telah dicoba pemberian guanidine
hidroklorida
yang kadang-kadang berhasil. Tindakan-tindakan ini mengurangi angka kematian
dari 65% menjadi di bawah 25%.
Pencegahan, dan
pengendalian
Spora
sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa jam pada
proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu
memasak makanan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, bisa mencegah
foodborne botulism. Memasak makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat
mencegah terjadinya foodborne botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak
dengan sempurna, bisa menyebabkan botulisme jika disimpan setelah dimasak,
karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah 3 derajat Celsius
(suhu lemari pendingin).
Penting untuk memanaskan makanan kaleng sebelum
disajikan. Makanan kaleng yang sudah rusak bisa mematikan dan harus dibuang.
Bila kalengnya penyok atau bocor, harus segera dibuang. Anak-anak dibawah 1 tahun
sebaiknya jangan diberi madu karena mungkin ada spora di dalamnya.
Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui
saluran pencernaan, udara maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit,
bisa menyebabkan penyakit yang serius. Karena itu, makanan yang mungkin sudah
tercemar, sebaiknya segera dibuang. Hindari kontak kulit dengan penderita dan
selalu mencuci tangan segera setelah mengolah makanan.
Faktor
utama yang membatasi pertumbuhan untuk Clostridium
botulinum adalah
1. suhu pH ekstrim <4 span="">64>
2. aktivitas air rendah
karena makanan dengan kadar air yang tinggi dan dengan kadar gula atau garam
yang tinggi dapat menjadi pemicu pertumbuhan bakteri
3. pengawet makanan misalnya pengawet seperti nitrit, asam sorbat, fenolik
antioksidan, polifosfat, dan ascorbates, dan
4. mikroorganisme yang
lainnya yang tumbuh bersamaan dengan bakteri ini misalnya bakteri asam laktat.
Strain Clostridium botulinum dapat baik mesofilik dan Psikotropika, dengan pertumbuhan antara 3 ° C
hingga 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Oleh karena itu, strain dapat tumbuh
tidak hanya pada suhu kamar, tetapi pada pendinginan normal dan suhu yang lebih
tinggi. Waktu yang tepat, suhu,
dan tekanan yang diperlukan untuk menghancurkan spora tahan panas, dan metode
penyimpanan yang benar diperlukan untuk menjamin keamanan konsumen. Sebuah
pressure cooker dapat digunakan untuk tujuan pengalengan rumah karena dapat
mencapai suhu lebih tinggi dari mendidih (212 ° F), yang diperlukan untuk
membunuh spora. Sementara spora botulinum dapat bertahan hidup dalam air
mendidih, toksin botulinum adalah panas labil. Memanaskan makanan sampai suhu
80 ° C (176 ° F) selama 10 menit sebelum dikonsumsi dapat sangat mengurangi
risiko penyakit.
Hal yang dapat mencegah Clostridium botulinum bawaan makanan :
1. Jika makanan kaleng, makanan dipanasi untuk setidaknya
80 ° C (176 ° F) selama 10 sampai 20 menit.
2. Produk makanan kaleng, baik di rumah dan
komersial, harus diperiksa sebelum digunakan. Kaleng dengan tutup menggembung
atau rusak, kebocoran, atau bau yang tidak enak tidak boleh digunakan karena
pertumbuhan bakteri sering dapat menghasilkan gas, menyebabkan berkembangnya kaleng wadah makanan .
3. makanan kaleng harus diberi
tekanan
dengan waktu,suhu dan persyaratan tertentu untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan spora.
4. Membaca label makanan kalengan sebelem mengkonsumsi dan membuang
makanan tersebut jika sudah melewati batas kadaluarsa atau terdapat
goresan,peyok,terbuka label kaleng wadah makanan tersebut.
5. Bagi produsen makanan kalengan disarankan untuk menggunakan pengawet
yang telah direkomendasikan atau diizinkan untuk menekan pertumbahan bakteri
dalam makanan kalengan.
6. Kemasan atau kaleng vaccum harus disimpan dalam frezzer dengan waktu
yang direkomendasikan dalam waktu yang sedikit diperpanjang.
7. Jauhkan makanan panas di atas 57 ° C (135 ° F)
dan makanan dingin di bawah 5 ° C (41 ° F) untuk mencegah pembentukan spora.
8. Cuci tangan,peralatan memasak sebelum menghidangkan makanan atau
menghindarkan peralatan masak yang kontak dengan daging mentah dengan makanan
sebelum disajikan.
KESIMPULAN
Clostridium tetani adalah bakteri yang terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia dan
binatang berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan
lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif
anaerobic berflagel peritrik berspora yang terletak disentral,subterminal
maupun terminal. Sedangkan Clostridium botulinum adalah bakteri
anaerobik yang menyebabkan botulisme. Ini organisme Gram-positif berbentuk
batang, motil, dan memiliki spora yang sangat tahan terhadap sejumlah tekanan
lingkungan seperti panas, asam tinggi dan dapat menjadi aktif dalam asam rendah
(pH lebih dari 4,6) serta kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu berkisar
antara 3 ° C untuk 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Keduanya dapat menyebabkan
kelumpuhan dengan mekanisme yang berbeda. Racun botulinum sangat mirip dalam
struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena mereka
menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan mempengaruhi
sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor
neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau
kelumpuhan lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun
tetanospasmin yang menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem
saraf pusat, dan efeknya terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.
SUMBER PUSTAKA
1.
Staf pengajar FKUI. 1994.Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara
2.
Jawetz, Melnick dan
Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi
kedokteran. Jakarta. Salemba Medika.
3.
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/196805091994031-KUSNADI/BUKU_COMMON_TEXT_MIKROBIOLOGI,_Kusnadi,dkk/BAB_XII_MIKRO_KESEHATAN.pdf (diunduh
tanggal 2 Juni 2012)
4.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9491/bab%202_2006ins.pdf
(diunduh tanggal 2 Juni 2012 )
11. textbookofbacteriology.net/clostridia.html
0 komentar:
Posting Komentar