Clostridium tetani dan Clostridium botulinum

Minggu, 07 Juli 2013

BAB II
ISI

A.    Clostridum tetani
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom:
Bacteria
Division:
Firmicutes
Class:
Clostridia
Order:
Clostridiales
Family:
Clostridiaceae
Genus:
Clostridium
Species:
Clostridium tetani
Karakteristik Umum
-          Morfologi dan identifikasi
Clostridium tetani adalah bakteri yang terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berflagel peritrik berspora yang terletak disentral,subterminal maupun terminal. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Bentuk koloni bakteri ini adalah koloni yang kecil meluas dalam jalinan filamen halus.
-          Biakan
Klostridia hanya tumbuh pada keadaan anaerob yang tumbuh dengan salah satu cara berikut ini
1.      Lempeng agar atau tabung biakan diletakkan dalam botol kedap udara, udara dibuang dan diganti dengan nitrogen dan CO2 10%.
2.      Perbenihan cair diletakkan dalam tabung panjang yang mengadung jaringan hewan segar mislanya cincangan daging rebus atau agar 0,1% dan suatu zat pereduksi seperti tioglikolat. Tabung ini dapat digunakan seperti perbenihan aerob dan pertumbuhan akan terjadi pada dasar keatas sampai 15mm dari permukaan yang berhubungan dengan udara.
Cara Penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia serta binatang. Clostridium tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Infeksi terjadi setelah trauma kecil (lecet luka tusuk, infeksi tunggul tali pusat bayi baru lahir), Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord. Eksotoksin yang bekerja pada sinaptosum dan menutup respons refleks menghambat dari serabut syaraf dan menyebabkan terjadinya influs-influs yang tak terkendali, daya kerja utamanya ialah terhadap batang otak dan tanduk depan sumsum tulang belakang.
Pada SSP toksin mengikat diri pada ganglion di batang otak dan sumsum tulang belakang. Toksin ini bekerja secara blokade dengan dikeluarkannya mediator penghambat sinapsis neuron motorik. Hasilnya adalah hiperefleksi dan spasme otot tubuh terhadap rangsangan apa saja. Masa inkubasi dari 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Gejala penyakitnya adalah konvulsi kontraksi tonik dari otot tubuh. Biasanya kekakuan otot dan kejang otot mulai pada tempat infeksi, kemudian otot mulut (risus sardonicus), kejang otot pengunyah dan punggung yang melengkung seperti busur,  hingga kejang otot seluruh tubuh yang disebut opistotonus, kejang-kejang otot tak sadar yang singkat dan sering setelah beberapa minggu terjadi kefatalan akibat kelelahan dan kegagalan nafas.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas, luka bakar, Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya, luka-luka di bawah kuku, ulkus kulit yang iskemik, luka bekas suntikan narkoba,bekas irisan umbilicus pada bayi, endometritis sesudah abortus septic, abses gigi, mastoiditis kronis, ruptur apendiks, abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja.
Toksin
Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin bersifat hemolisin dan Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Sel vegetatif Clostridium tetani menghasilkan tetanospasmin yang terutama dilepaskan bila bakteri tersebut mengalami lisis. Produksi toksin tampaknya dikendalikan oleh gen dalam plasmid. Toksin intraseluler itu merupakan polipeptida dengan BM 160.000 yang dapat dibelah oleh enzim proteolitik (tripsin, kemotripsin, elastase, clostripain,dan papain) menjadi dua fragmen dengan toksisitas yang lebih tinggi. Toksin murni mengandung lebih dari 2 x 107 dosis letal mencit per miligram. Tetanospasmin bekerja terhadap susunan saraf pusat dengan beberapa cara. Toksin ini menghambat pelepasan asetilkolin sehingga mengganggu transmisi neuromuskuler. Namun, secara kerja yang paling penting adalah penghambatan neurospinal postsinaps dengan menghambat pelepasan mediator penghambat. Ini mengakibatkan kejang otot yang menyeluruh, hiperefleksia dan kejang umum.
Gejala
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Penyakit ini khas dengan  adanya tonik pada otot serang lintang, biasanya dimulai dari daerah sekitar  perlukaan, kemudian otot-otot pengunyahan, sehingga akan  mengalami kesukaran dalam mengunyah mulut.
Secara bertahap kejang tersebut akan melibatkan semua otot seran lintang sehingga akan terjadi kejang tonik. Adanya ransang dari luar dapat memacu timbulnya kekejangan. Kesadaran penderita tetap baik dan penyakit terus berlanjut. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan fungsi pernafasan, yang umumnya 50%.
Secara klinis tetanus dibedakan menjadi :
1. tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat  terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang me-netap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalarn kesadaran penuh
3. tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk.
Diagnosa
Tetanus ditegakan berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi biasanya tidak diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani dari luka penderita , yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
Penatalaksanaan dan pengobatan
1.      Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2.      Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.

-          Serum Anti Tetanus
Serum Anti Tetanus ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin tetanus. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0,25%  sebagai pengawet. Indikasinya untuk pencegahan dan pengobatan tetanus.
Komposisi :
Untuk pencegahan tiap ml mengandung :
Antitoksin tetanus    1.500     IU
Fenol            0,25 % v/v
Untuk pengobatan tiap ml mengandung :
Antitoksin tetanus    5.000     IU
Fenol            0,25 % v/v 
Dosis dan Cara Pemberian :
1.    Pencegahan tetanus : 1 dosis profilaktik (1.500 I.U.) atau lebih, diberikan intramuskuler secepat mungkin kepada seseorang yang luka dan terkontaminasi dengan tanah, debu jalan atau lain-lain bahan yang dapat menyebabkan infeksi Clostridium tetani. Dua minggu kemudian dilanjutkan dengan pemberian kekebalan aktif dengan vaksin jerap tetanus, supaya jika mendapat luka lagi tidak perlu diberi serum anti tetanus profilaktik, tetapi cukup diberi booster vaksin jerap tetanus.
2.Untuk pengobatan : 10.000 IU atau lebih, intramuskuler atau intravena, tergantung dari keadaan penderita.
Efek Samping
1.Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2.Serum sickness; timbul 5 hari setelah suntikan dan dapat berupa demam, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Sebelum memberi suntikan serum anti tetanus dengan dosis penuh, sebaiknya dilakukan tes hipersensitifitas subkutan terutama bagi mereka yang mempunyai penyakit alergi (asthma, dll).
Penyimpanan dan Daluarsa
Disimpan pada suhu 2O - 8OC. kadaluarsa : 2 tahun
Kemasan ampul
1 ml :   1.500 IU
2 ml : 10.000 IU
Vial 5 ml : 20.000 IU
3.      Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4.      Antikonvulsan.
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
- Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
- Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
- Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
- Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara.
1.      imunisasi aktif dengan toksoid
2.      perawatan luka menurut cara yang tepat ( yang terkontaminasi tanah )
3.      penggunaan antitoksin profilaksis
4.      selama kehamilan berikan vaksinasi ulangan untuk merangsang pembuatan antibodi pada ibunya yang akan melindungi bayi yang akan dilahirkan.
5.      Pemberian penisilin pada penderita luka


B. Clostridium botulinum

                            Klasifikasi Ilmiah
Kingdom:
Bacteria
Division:
Firmicutes
Class:
Clostridia
Order:
Clostridiales
Family:
Clostridiaceae
Genus:
Clostridium
Species:
Clostridium botulinum

Karakteristik Umum
Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik yang menyebabkan botulisme. Ini organisme Gram-positif berbentuk batang, motil, dan memiliki spora yang sangat tahan terhadap sejumlah tekanan lingkungan seperti panas, asam tinggi dan dapat menjadi aktif dalam asam rendah (pH lebih dari 4,6) serta kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu berkisar antara 3 ° C untuk 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Spora memungkinkan bakteri untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang merugikan dan menjadi bentuk vegetatif setelah kondisi menjadi lebih menguntungkan. Clostridium botulinum sering ditemukan pada tanah dan air. Meskipun bakteri dan spora sendiri tidak menyebabkan penyakit, produksi toksin botulinum adalah yang menyebabkan botulisme, kondisi lumpuh serius yang dapat mengakibatkan kematian. Ada tujuh strain C. botulinum berdasarkan perbedaan antigenisitas antara racun, masing-masing ditandai oleh kemampuannya untuk menghasilkan neurotoksin protein, enterotoksin, atau haemotoxin. Tipe A, B, E, dan F botulisme penyebab pada manusia, sementara jenis C dan D menyebabkan botulisme pada hewan dan burung. Tipe G diidentifikasi pada tahun 1970 tapi belum ditentukan sebagai penyebab botulisme pada manusia atau hewan.
Pathogenesis
Botulisme adalah suatu keracunan akibat memakan makanan dimana Clostridium botulinum tumbuh dan menghasilkan toksin. Spora Clostridium botulinum tumbuh dalam keadaan anaerob, bentuk vegetative  tumbuh dan menghasilkan toksin. Ada beberapa cara bakteri Clostridium botulinum masuk kedalam tubuh antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Menelan makanan yang mengandung toksin Clostridium botulinum. Toksin botulinum dapat ditemukan dalam makanan yang belum ditangani dengan benar atau kaleng dan sering hadir dalam sayuran kaleng, daging, dan produk makanan laut. Penyebab paling sering adalah makanan kaleng yang bersifat basa, dikemas kedap udara, diasap, diberi rempah-rempah, yang dimakan tanpa dimasak lagi.
2.      Botulisme pada bayi terjadi ketika bayi menelan C. Botulinum spora yang berkecambah dan memproduksi toksin dalam intestine.
3.      Clostridium botulinum menginfeksi luka dan menghasilkan racun. Toksin dapat dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
4.      Toksemia usus dewasa / kolonisasi terjadi dengan cara yang sama dengan botulisme pada bayi.
5.      Botulisme iatrogenik adalah kecelakaan overdosis racun, yang telah disebabkan oleh inhalasi disengaja oleh pekerja laboratorium.
Gejala klinis botulisme mulai 18-36 jam setelah konsumsi toksin dengan kelemahan, pusing dan kekeringan mulut. Mual dan muntah dapat terjadi. Neurologis segera mengembangkan fitur, termasuk penglihatan kabur, ketidakmampuan untuk menelan, kesulitan dalam berbicara, turun dari kelemahan otot rangka dan kelumpuhan pernapasan. Toksin yang terdapat dalam makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Clostridium botulinum dalam bentuk vegetatif maupun spora akan terserap oleh bagian atas dari saluran pencernaan di duodenum dan jejunum lalu melewati aliran darah hingga mencapai sinapsis neuromuskuler perifer. Racun tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
                                                                                                   
Toksin Botulinum
Selama pertumbuhan Clostridium botulinum dan selama autolysis bakteri, toksin dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh varaiasi antigenic toksin (A-G). tipe A,B, dan E (kadang-kadang F) adalah penyebab utama penyakit pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E terutama pada hasil ikan. Tipe C mengakibatkan leher lemas pada unggas; tipe D botiulisme pada mamalia. Toksin merupakan protein neurotoksik (BM  150.000) dengan struktur dan kerja yang mirip.
Toksin Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik yang diketahui. Dosis letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin  dirusak oleh pemanasan selama 20 menit pada suhu 1000C. pembentukan toksin dibawah kendali suatu gen virus. Beberapa strain Clostridium botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik. Racun botulinum sangat mirip dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau kelumpuhan lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun tetanospasmin yang menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.
Toksin botulinum disintesis sebagai rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, racun tersebut memiliki potensi yang relatif rendah. Toksin ini dibentuk dari rantai ringan dan rantai berat yang diikat oleh pita disulfida. Rantai berat diduga untuk mengikat toksin secara spesifik dan kuat pada ujung saraf motorik dan dengan internalisasi toksin. Rantai ringan menghambat pelepasan asetilkolin yang diperantai kalsium. Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf-otot, mengakibatkan paralisis flasid. Toksin dibelah oleh protease bakteri (atau mungkin oleh protease lambung) untuk menghasilkan dua rantai: rantai cahaya (fragmen A) dengan berat molekul 50 kDa, dan rantai berat (fragmen B), dengan berat molekul 100kDa.

Toksin Aksi

Toksin botulinum adalah spesifik untuk ujung saraf perifer pada titik di mana neuron motor merangsang otot. Toksin mengikat neuron dan mencegah pelepasan asetilkolin di celah sinaptik. Rantai berat toksin mengikat reseptor presinaptik. Daerah yang mengikat molekul toksin terletak di dekat terminal karboksi dari rantai berat. Terminal amino dari rantai berat diperkirakan membentuk saluran melalui membran dari neuron yang memungkinkan rantai cahaya untuk masuk. Toksin (fragmen A) memasuki sel dimediasi oleh reseptor. Begitu di dalam neuron, jenis toksin yang berbeda mungkin berbeda dalam mekanisme menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi mekanisme yang sama atau identik dengan tetanospasmin telah dilaporkan yaitu pembelahan proteolitik synaptobrevin II. Sel-sel yang terkena gagal untuk melepaskan neurotransmiter, sehingga menghasilkan kelumpuhan sistem motorik. Sekali rusak, sinaps diterjemahkan secara permanen tidak berguna. Pemulihan fungsi memerlukan tumbuh dari akson presinaptik baru dan pembentukan selanjutnya dari sinaps baru. mekanisme produksin asetilkolin yang dicegah tidak diketahui. Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa kedua toksin botulinum serta toksin tetanus tergantung pada endopeptidases yang membelah protein tertentu yang terlibat dalam ekskresi neurotransmitter. Kedua racun membelah satu set protein yang disebut synaptobrevins. Synaptobrevins ditemukan pada vesikel sinaptik neuron, vesikel jawab atas pelepasan neurotransmitter. Pembelahan proteolitik synaptobrevin II akan mengganggu fungsi vesikel dan pelepasan neurotransmitter.

Gambaran klinik
Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda ), ketidakmampuan menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar berjalan progresif, dan kematian terjadi karena paralisis pernafasan atau henti jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya. Penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah.
Di Amerika Serikat, botulisme pada bayi lazim atau lebih lazim ditemui daripada bentuk klasik botulisme paralitik yang berkaitan dengan memakan makanan terkontaminasi toksin. Bayi menjadi tidak mau makan, lemah, dan adanya tanda-tanda paralisis(“floopy baby”). Botulisme bayi mungkin merupakan satu dari sekian penyebab kematian akibat sindroma kematian bayi yang tiba-tiba. Clostridium botulinum dan toksin botulinus ditemukan difeses tetapi tidak di dalam serum. Disimpulkan bahwa spora Clostridium botulinum berada dalam makanan bayi, mengakibatkan produksi toksin dalam usus. Diduga, merupakan media yang digunakan untuk spora. Sebagian besar bayi sembuh  hanya dengan terapi suportif.
Tes Diagnostic Laboratorium
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah
1.      CT-Scan
2.      pemeriksaan serebro spinalis
3.      nerve conduction test seperti electromyography atau EMG,
4.      tensilon test untuk myastenia gravis.
5.      Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant botulisme

Pengobatan
Penderita botulisme harus segera dibawa ke rumah sakit. Pengobatannya segera dilakukan meskipun belum diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium untuk memperkuat diagnosis. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:
1.       perangsangan muntah.
2.      pengosongan lambung melalui lavase lambung
3.      pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.
Bahaya terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin. Jika gangguan pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa ke ruang intensif dan dapat digunakan alat bantu pernafasan. Perawatan intensif telah mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun 1900 sekarang menjadi 10%. Mungkin pemberian makanan harus dilakukan melalui infus. 
Pemberian antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan, tetapi dapat memperlambat atau menghentikan kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga tubuh dapat mengadakan perbaikan selama beberapa bulan. Antitoksin diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian ini pada umumnya efektif bila dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya gejala. Antitoksin tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena efektivitasnya pada infant botulism masih belum terbukti. 
Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinum telah dibuat pada hewan. Karena tipe penyebab pada suatu kasus tertentu biasanya tidak diketahui, antitoksin trivalent (A, B, E) harus diberikan secara intravena sedini mungkin dengan hati-hati. Bila perlu, ventilasi yang adekuat harus dipertahankan oleh respirator  mesin. Secara eksperimental telah dicoba pemberian guanidine hidroklorida yang kadang-kadang berhasil. Tindakan-tindakan ini mengurangi angka kematian dari 65% menjadi di bawah 25%.

Pencegahan, dan pengendalian
              Spora sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa jam pada proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu memasak makanan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, bisa mencegah foodborne botulism. Memasak makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat mencegah terjadinya foodborne botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak dengan sempurna, bisa menyebabkan botulisme jika disimpan setelah dimasak, karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah 3 derajat Celsius (suhu lemari pendingin). 
Penting untuk memanaskan makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang sudah rusak bisa mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor, harus segera dibuang. Anak-anak dibawah 1 tahun sebaiknya jangan diberi madu karena mungkin ada spora di dalamnya. 
Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran pencernaan, udara maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit, bisa menyebabkan penyakit yang serius. Karena itu, makanan yang mungkin sudah tercemar, sebaiknya segera dibuang. Hindari kontak kulit dengan penderita dan selalu mencuci tangan segera setelah mengolah makanan.                               
            Faktor utama yang membatasi pertumbuhan untuk Clostridium botulinum adalah
1.      suhu pH ekstrim <4 span="">6
2.       aktivitas air rendah karena makanan dengan kadar air yang tinggi dan dengan kadar gula atau garam yang tinggi dapat menjadi pemicu pertumbuhan bakteri
3.      pengawet makanan misalnya pengawet seperti nitrit, asam sorbat, fenolik antioksidan, polifosfat, dan ascorbates, dan
4.      mikroorganisme yang lainnya yang tumbuh bersamaan dengan bakteri ini misalnya bakteri asam laktat.
Strain Clostridium botulinum dapat baik mesofilik dan Psikotropika, dengan pertumbuhan antara 3 ° C hingga 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Oleh karena itu, strain dapat tumbuh tidak hanya pada suhu kamar, tetapi pada pendinginan normal dan suhu yang lebih tinggi. Waktu yang tepat, suhu, dan tekanan yang diperlukan untuk menghancurkan spora tahan panas, dan metode penyimpanan yang benar diperlukan untuk menjamin keamanan konsumen. Sebuah pressure cooker dapat digunakan untuk tujuan pengalengan rumah karena dapat mencapai suhu lebih tinggi dari mendidih (212 ° F), yang diperlukan untuk membunuh spora. Sementara spora botulinum dapat bertahan hidup dalam air mendidih, toksin botulinum adalah panas labil. Memanaskan makanan sampai suhu 80 ° C (176 ° F) selama 10 menit sebelum dikonsumsi dapat sangat mengurangi risiko penyakit.
Hal yang dapat mencegah Clostridium botulinum bawaan makanan :
1.      Jika makanan kaleng, makanan dipanasi untuk setidaknya 80 ° C (176 ° F) selama 10 sampai 20 menit.
2.      Produk makanan kaleng, baik di rumah dan komersial, harus diperiksa sebelum digunakan. Kaleng dengan tutup menggembung atau rusak, kebocoran, atau bau yang tidak enak tidak boleh digunakan karena pertumbuhan bakteri sering dapat menghasilkan gas, menyebabkan berkembangnya kaleng wadah makanan .
3.      makanan kaleng harus diberi tekanan dengan waktu,suhu dan persyaratan tertentu untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan spora.
4.      Membaca label makanan kalengan sebelem mengkonsumsi dan membuang makanan tersebut jika sudah melewati batas kadaluarsa atau terdapat goresan,peyok,terbuka label kaleng wadah makanan tersebut.
5.      Bagi produsen makanan kalengan disarankan untuk menggunakan pengawet yang telah direkomendasikan atau diizinkan untuk menekan pertumbahan bakteri dalam makanan kalengan.
6.      Kemasan atau kaleng vaccum harus disimpan dalam frezzer dengan waktu yang direkomendasikan dalam waktu yang sedikit diperpanjang.
7.      Jauhkan makanan panas di atas 57 ° C (135 ° F) dan makanan dingin di bawah 5 ° C (41 ° F) untuk mencegah pembentukan spora.
8.      Cuci tangan,peralatan memasak sebelum menghidangkan makanan atau menghindarkan peralatan masak yang kontak dengan daging mentah dengan makanan sebelum disajikan.




KESIMPULAN

          Clostridium tetani adalah bakteri yang terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berflagel peritrik berspora yang terletak disentral,subterminal maupun terminal. Sedangkan Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik yang menyebabkan botulisme. Ini organisme Gram-positif berbentuk batang, motil, dan memiliki spora yang sangat tahan terhadap sejumlah tekanan lingkungan seperti panas, asam tinggi dan dapat menjadi aktif dalam asam rendah (pH lebih dari 4,6) serta kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu berkisar antara 3 ° C untuk 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Keduanya dapat menyebabkan kelumpuhan dengan mekanisme yang berbeda. Racun botulinum sangat mirip dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau kelumpuhan lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun tetanospasmin yang menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.

SUMBER PUSTAKA

1.      Staf pengajar FKUI. 1994.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara
2.      Jawetz, Melnick dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta. Salemba Medika.
11.  textbookofbacteriology.net/clostridia.html




0 komentar:

Posting Komentar