Pendahuluan
Staphylococcus
aureus merupakan
bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam
kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob,
tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (Gambar 2.1). Bakteri ini tumbuh pada
suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25
ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan,
berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan
S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis
yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ; Novick et
al., 2000).
Patogenisitas
Sebagian bakteri
Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran
pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan
lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan
hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai
abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat
diantaranyapneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,
osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama
infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et
al., 1994; Warsa, 1994). Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan
borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau
kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi
koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk
dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh
lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan
pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan
terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi
paru-paru (Warsa, 1994;Jawetz et al., 1995). Kontaminasi langsung S.
aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah
trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis
setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et
al., 1995). Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin
dari S. aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat
dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan.
Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala
keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa
disertai demam (Ryan, et al., 1994 ; Jawetz et al., 1995).
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara
tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan
hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering
terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan
tampon, atau pada anakanak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S.
aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal
lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al., 1995).
Faktor Virulensi
S. aureus
S. aureus dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan
melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan
sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya
:
1. Katalase
Katalase adalah
enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes
adanya aktivtias katalase menjadi pembeda egnus Staphylococcus dari Streptococcus
(Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
2. Koagulase
Enzim ini dapat
menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase
reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang dihaslki
an dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin
pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994).
3. Hemolisin
Hemolisin
merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni
bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta
hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus
yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba (Warsa, 1994).
4. Leukosidin
Toksin ini dapat
mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam
patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak dapat
mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et al.,
1995).
5. Toksin
eksfoliatif
Toksin ini
mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida
epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di
stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
6. Toksin
Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar
galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan
eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toks in ini menyebabkan demam, syok, ruam
kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994;
Jawetz et al., 1995).
7. Enterotoksin
Enterotoksin
adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus.
Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada
makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995).
Pengobatan
terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang
disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi.
Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk menangani furunkulosis
(bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian
antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin, metisillin,
sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian
besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotic tersebut,
sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti
kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa,
1994; Jawetz et al., 1995).
Kloramfenikol
Struktur Kimia
Kloramfenikol
adalah antibiotik yang diisolasi pertama kali pada tahun1947 dari Streptomyces
venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat,karena mempunyai daya
antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa antibiotik ini dapat
menimbulkan anemia aplastik yang faatl, sehingga penggunaannya dibatasi (Mycek et
al., 1992).
Gambar 2.
Struktur kimia kloramfenikol (Depkes RI, 1995)
D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-(hidroksimetil)-pnitrofenetil]
asetamida C11H12 Cl2 N2O5
, BM 323,13
Farmakokinetik
Kloramfenikol
yang diberikan secara intravena maupun oral dapat diabsorpsi sempurna, karena
bersifat lipofilik. Antibiotik ini didistribusikan secara luas ke seluruh
tubuh, termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata. Waktu paruh
kloramfenikol pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, sedangkan pada bayi berumur
kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Sekit ar 50 %
kloramfenikol
dalam darah terikat dengan albumin (Katzung, 1998). Di dalam hati,
kloramfenikol terkonjugasi dengan asam glukuronat olehn aktivitas enzim
glukuronil transferase, sehingga waktu paruh kloramfenikol pada
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, tidak bergerak
ditemukan satu-satu, berpasangan, berantai pendek atau bergerombol, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, dan dinding selnya mengandung dua komponen
utama yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat. Metabolisme dapat dilakukan secara
aerob dan anaerob.
Infeksi yang disebabkan di golongkan sebagai penyakit
menular/lokal (biasanya) atau menyebar (jarang). Staphylococcus adalah sel yang berbentuk bola
dengan garis tengah sekitar 1μm dan tersusun dalam kelompok tak beraturan. S.aureus menghasilkan koagulase,suatu protein
mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi oksalat atau
sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalam banyak serum. Bakteri
yang membentuk koagulase dianggap mempunyai potensi menjadi patogen
invasif. S. ureus dapat ditemukan di
kulit dan di hidung manusia,(Hidung biasanya dianggap tempat utama
berkembangnya kolonisasinya) dan ada kalanya dapat menyebabkan infeksi dan
sakit parah.
Pada
osteomielitis, fokus primer pertumbuhan s.aureus secara khas terjadi di
pembuluh-pembuluh darah terminal pada metafisis tulang panjang, mengakibatkan
nekrosis tulang dan penanahan menahun.
Staphylococcus
aureus juga penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi seperti
pada jerawat, bisul, juga pneumonia, empiema, endokarditis, atau penanahan pada
bagian tubuh mana pun
Leukosidin;
toksin s.aureus ini dapat mematikan sel darag putih pada banhyak hewan yang
terkena oleh toksin ini, tetapi peranannya dalam patogenesis tidak jelas, sebab
staphylococcus patogen tidak mematikan sel-sel darag putih dan dapat
difagositosis seefektif jenis yang tidak patogen, namun bakteri tersebut mampu
berkembang biak dengan sangat aktif di dalam sel.
40-50%
manusia adalah pembawa S.aureus dalam hidungnya,dan dapat di temukan di baju,
sprei, dan benda-benda lainnya sekitar manusia.
Kebanyakan
orang mempunyai staphylococcus pada kulit dan dalam hidung atau tenggorokan.
Infeksi ganda yang berat pada kulit mis; jerawat. Pada jerawat, lipase
staphylococcus melepaskan asam-asam lemak dari lipid dan menyebabkan iritasi
jaringan.
Bahan
makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran mentah
untuk salad, juga berpotensi terkontaminasi S. aureus. . Keracunan oleh S.
aureus diakibatkan oleh enterotoksin yang tahan panas yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut.
Infeksi S.ureus dapat juga di sebabkan oleh kontaminasi langsung
pada luka, misalnya pada infeksi luka pascabedah oleh staphylococcus atau
infeksi setelah trauma (osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka, menigitis
setelah fraktur tengkorak)
Bila
S.aureus menyebar dan terjadi bakteremia, dapat terjadi endokarditis,
osteomielitis akut hematogen, meningitis, atau infeksi paru-paru. Gambaran
klinisnya mirip dengan gambaran klinis yang terlihat pada infeksi lain yang
melalui aliran darah.
Bakteremia,
endokarditis, pneumonia, dan infeksi hebat lain yang disebabkan oleh S.aureus
memerlukan terapi intravena yang lama dengan penicilin yang resisten terhadap
β-laktamase. Vankomisin sering dicadangkan untuk staphylococcus yang resisten
terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S.aureus yang tidak
menghasilkan β-laktamase, penicilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya
sedikit strain S.aureus yang peka terhadap penicilin G.
Beberapa
jenis Staph telah menjadi kebal terhadap antibiotika methicillin dan lainnya
yang dulu dipakai untuk mengobati infeksi. Infeksi yang disebabkan Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus ‘MRSA’ yang kebal methicillin ini sulit
diobati, sebab kebanyakan antibiotika tak dapat membunuh bakteri tersebut.
MRSA
bisa menyebabkan:
•
infeksi kulit seperti bisul dan
•
infeksi di bawah kulit (cellulitis),
•
infeksi yang lebih parah pada tulang, darah, paru-paru dan bagian tubuh
lainnya.
MRSA dapat tersebar dengan :
•
menyentuh dan memijit kulit yang terkena misalnya pada bisul atau luka,
•
memakai handuk, pakaian atau seprai kotor yang telah dipakai oleh orang
yang
terkena infeksi MRSA,
•
menggunakan alat rias yang telah dipakai oleh orang yang terkena infeksi
MRSA,
•
tidak teliti dalam mencuci tangan.
Sebagian besar infeksi MRSA dapat diobati dengan antibiotik,
seperti vankomisin, teicoplanin, dan linezolid. Namun antibiotik yang banyak
digunakan selama ini adalah vankomisin. Vankomisin merupakan antibiotik yang
termasuk dalam golongan glikopeptida. Mekanismenya yaitu dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Vankomisin berikatan dengan ujung
D-alanyl-D-alanine dari unit prekusor dinding sel, sehingga dapat menganggu
sintesis peptidaglikan. Tetapi setelah meningkatnya penggunaan vankomisin,
termasuk untuk MRSA komunitas, akhirnya membuat sensitifitas antibiotik ini
jadi berkurang. Mekanisme resistensi dan berkurangnya sensitifitas S.aureus
terhadap vankomisin diperkirakan terkait dengan perubahan dan pengaturan ulang
dinding sel bakteri. Namun untuk sekarang masih dicari lagi antibiotic yang
dapat membunuh MRSA dan VRSA, yang telah resisten dengan semua jenis antibiotic
yang ada. Tetapi MRSA dapat dicegah dengan cara mencuci tangan,tidak saling
pinjam-meminjam handuk, alat rias, seprei, benda lain yang dapat mengandung
nanah, dan baluti luka atau infeksi kulit lainnya.
Domain:
|
Bacteria
|
|
Kingdom:
|
Eubacteria
|
|
Phylum:
|
Firmicutes
|
|
Class:
|
Bacilli
|
|
Order:
|
Bacillales
|
|
Family:
|
Staphylococcaceae
|
|
Genus:
|
Staphylococcus
|
|
Species:
|
S. aureus
|
|
PERBENIHAN
Untuk membiakkan Staphylococcus diperlukan suhu optimal
antara 28-380C,atau sekitar 350C. Apabila bakteri
tersebut diisolasi dari seorang penderita,suhu optimal yang diperlukan adalah
370C. pH optimal untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 7,4. Pada umumnya Staphylococcus dapat tumbuh pada
medium-medium yang biasa dipakai di laboratorium bakteriologi misalnya sebagai
berikut,
1.
Nutrient Agar Plate (NAP)
Medium
tersebut penting untuk mengetahui adanya
pembentukan pigmen dan Staphylococcus
aureus akan membentuk pigmen berwarna kuning emas. Koloni yang tumbuh
berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm, konveks dengan tepi rata,permukaan
mengkilat dan konsistensinya lunak.
2.
Blood Agar Plate (BAP)
Medium
tersebut dipakai secara rutin. Koloninya akan tampak lebih besar, dan pada
galur yang ganass biasanya memberikan hemolisa yang jernih disekitar koloni
yang mirip dengan koloni Streptococcus β-hemolyticus.
Pada umumnya untuk
membiakkan Staphylococcus aureus,
perlu medium yang mengandung asam aminodan vitamin-vitamin, misalnya threonine,
asam nikotinat, dan biotin. Untuk isolasi primer dari infeksi campuran,
terutama yang berasal dari tinja atau luka-luka, perlu medium yang mengandung
garam NaCl konsentrasi tinggi misalnya 7,5% atau mediumyang mengandung
polimiksin (Polimiksin Staphylococcus
Medium). Pembentukan pigmen paling baik apabila dieramkan pada suhu kamar
(200C). Pigmen ini mempunyai sifat-sifat :
-
Mudah larut dalam alcohol, eter, dan
benzene.
-
Termasuk bahan yang bersifat lipokrom.
-
Tetap tinggal dalam koloi bakteri.
-
Tidak berdifusi ke dalam medium.
Hubungan
antara warna pigmen dengan patogenitas tidak selalu tetap. Sebagai contoh Staphylococcus aureus yang menghasilkan
pigmen warna kuning emas tidak selalu menghasilkan tes koagulase yang positif,
tetapi kadang-kadang menghasilkan koagulase yang negative. Pigmen kuning emas
ini tidak terbentuk pada keadaan anaerob dan juga tidak terbentuk pada
perbenihan cair.
DAYA TAHAN
Diantara
bakteri yang idak membentuk spora, Staphylococcus adalah yang paling tahan
terhadap bahan-bahan kimia, sehingga galur Staphylococcus tertentu digunakan
untuk standar tes evaluasi bahan-bahan antiseptikaatau antibiotika, misalnya Staphylococcus aureus ATCC 29213.Dalam suhu kamar padaagar miring atau
keadaan beku, bakteri tersebut dapat hidup sampai beberapa bulan, sedangkan
dalam keadaan kering pada pus dapat hidup 14-16 minggu, relative tahan terhadap
pemanasan 600C selama 30 menit. Daya tahanterhadap bahan-bahan kimia
bervariasi, misalnya dalam fenol 2% mati dalam waktu 15 menit, sedangkan dalam
hydrogen peroksida 3% mati dalam waktu 3 menit dan dalam tincture iodii, mati
dalam waktu 1 menit.
Beberapa
galur dari Staphylococcus aureus
menghasilkan enzim penisilinase sehingga resisten terhadap golongan obat
penisilin, tetapi biasanya masih peka terhadap golongan penisilin yang tahan
terhadap penisilinase, misalnya metisilin dan oksasilin. Namun demikian, juga
telah dikenal galur Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin yang
disebut Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Galur ini sering menimbulkan masalah di
klinik karena sifatnya yang resisten terhadap berbagai antibiotika golongan
β-laktam, tetapi biasanya masih peka terhadap vankomisin atau golongan
aminoglikosida.
REAKSI BIOKIMIA
Semua
galur dapat meragikan gula-gula sederhana (glukosa,laktosa,sukrosa dan
lain-lain) dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. Staphylococcus aureus dapat meragikan manitol. Untuk mengetahui
sifat fermentasi terhadap manitol digunakan Manitol Salt Agar (konsentrasi
garam NaCl 7,5-10%) dengan melihat adanya daerah terang (halo) yang berwarna
kuning disekitar koloni Staphylococcus
aureus.
STRUKTUR ANTIGEN
Rantz
menemukan suatu antigen pada gram positif coccus dan gram negative batang.
Antigen Rantz ini didapat dengan cara ekstraksi dari Staphylococcus galur
tertentu menggunakan losozim. Sensitisasi sel darah merah dengan antigen ini
dapat menimbulkan pembentukan hemaglutinin dalam serum. Staphylococcus aureus mengandung Ag-Karbohidrat (Ag-KH)
danAg-protein. Pada strain yang pathogen ditemukan Ag-KH tipe A, apabila Ag-KH
tipe A disuntikkan secara intradermal pada penderita yang terinfeksi
Staphylococcus akan memberikan reaksi hopersensitif tipe segera(intermediate
type) dalam 20-30 menit berupa wheal dan eritema.
Sebagian
besar bakteri Staphylococcus aureus pada
dinding selnya mengandung suatu komponen yang disebut protein A. Protein A ini
memiliki berat molekul sekitar 13.000 Da berikatan denganpeptidoglikan secara
kovalen. Protein A dapatdikeluarkan ke dalam medium dan juga dapat berikatan
dengan fragmen Fc dari immunoglobulin. Berdasarkan sifat ini, Staphylococcus aureus dapat dipakai
untuk membantu identifikasi, karena fragmen Fab yang bebas dapat berikatan
dengan antigen yang spesifik.
METABOLIT BAKTERI
Staphylococcus
menghasilkan bahan metabolit yang dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk,
yaitu : metabolit non-toksin, eksotoksin, dan enterotoksin.
I.
Metabolit non-toksin
1. Antigen
permukaan (materi kapsul)
Fungsi dari antigen kapsul adalah
mencegah fagositosis, mencegah reaksi koagulase, dan mencegah melekatnya
bekteriofag.
2. Koagulase
Koagulase adalah suatu antigen protein
yang dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus. Bersifat sebagai clotting agent, proteolitik, dan esterolitik.
Terdapat dua bentuk koagulase, yaitu sebagai berikut:
a. Free
coagulase
Dibebaskan ke dalam medium. Perlu
aktivasi oleh faktor plasmaatau CRF (Coagulase Reacting Factor) untuk mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Dipakai plasma darah kelinci. Tes dilakukan di dalam
tabung.
b. Bound
coagulase (clumping factor)
Tidak didaptkan di dalam filtrate kultur. Tidak
memerlukan CRF. Dipakai plasma darah manusia. Tesdilakukan pada obyek glass.
Tes koagulase tersebut penting untuk
menentukan patogenitas Staphylococcus. Pada umumnya Staphylococcus aureus memberikan tes koagulase yang positif. Bila
hasil tes koagulase pada obyek glass negative, harus dilanjutkan dengan tes
koagulase tabung. Tes koagulase positif palsu bisa diberikan oleh Pseudomonas aeroginusa, Serratia
marcescens,dan Streptococcus
faecalis. Terjadinya reaksi positif palsu disebabkan bakteri-bakteri
tersebut dapat menggunakan sitrat (antikoagulan dalam pengambilan plasma) dan
membebaskan kalsium sehingga dapat menimbulkan reaksi penggumpalan. Untuk
mengatasi hal ini, penggunaan sitrat perlu digantikan dengan EDTA. Reaksi
negative palsu bisa terjadi pada beberapa galur dari Staphylococcus yang
menghasilkan fibrinolisin dalam jumlah banyak sehingga penggumpalan yang
seharusnya terjadi oleh koagulase sulit terlihat karena kemugkinan dilisiskan
kembali. Doperlukan tes koagulase dengan masa inkubasi yang lebih lama (24jam),
bila dalam waktu 4 jam tidak terbentuk koagulum.
3. Hialuronidase
Dihasilkan oleh 93,6% galur dengan
koagulase yang positif, tapi tidak dibentuk oleh galur dengan koagulase
negative. Secara invitro, dapat dihasilkan bila medium diperkaya dengan tirosin
dan triptofan. Dengan menghasilkan hialuronidase maka bakteri bersifat
invasive, tapi sifat ini terjadi pada fase awal dari infeksi dan cepat
dinetralkan pada reaksi peradangan.
4.
Stafilokinase (fibrinolisin)
Metabolit tersebuut 80%
dihasilkan oleh galur koagulase positif dan dihasilkan juga oleh galur dengan koagulase
negative. Enzim ini bekerja sebagai activator enzim protease dalam plasma untuk
menghasilkan lytics agent. Enzi mini bersifat antigenic ddan tidak tahan panas
(heat labile). Staphylokinase
Plasminogen Plasmin
fibrinolitik.
Fenomena Mueller :
Fenomena
Mueller adalah terjadinya suatu area yang terang berupa bercak-bercak kecil
(satellite) di sekeliling koloni Staphylococcus, yang di tanam pada Human Blood
Agar plate (BAP) dan diinkubasikan beberapa hari. Fenomena ini terutama terjadi
pada Staphylococcus aureus. Mueller
menganggap bahwa bercak ini karena adanya living agent, sedang menurut Quie dan
Wannamarker disebkan adanya stafilokinase. Pada BAP, terjadi pengumpulan lebih
banyak dari plasminogen dan dengan adanya enzim tersebut terjadi proteolysis.
5.
Protease
Enzim ini bersifat
proteolitik dan dapat menyebabkan nekrosis pada jaringan yang diinvasi,,,
termasuk jaringan tulang.
6.
LIPASE
Enzi mini bersifat
antigenic. Padainolu;asi Staphylococcus koagulase positif galur tertentu pada
BAP darah manusia, terlihat pada permukaan terdapat bercak-bercak lemak yang
tersusun daric asam oktadekanoat. Ini terjadi karena lipase memutuskan ikatan
asam ini dengan lipid.
7.
FOSFATASE
Fosfatase erat
hubungannya dengan patogenitas dan galur koagulase positif pada umumnya
meneghasilkan lebih banyak fosfatase daripada galur koagulase negative, namun
kadang-kadang ada jugagalur koagulase negative yang menghasilkan fosfatase
lebih banyak. Oleh karena itu, apabila fosfatase digunakan sebagai indicator
patogenitas, nilainyakoran.
8.
DNase
Enzi minitahan terhadap pemanasan
(heat resistant) dan diproduksi oleh 90-96% galur Staphylococcus koagulase
positif, sehingga dapat juga dipakai untuk menentukan spesies dari
Staphylococcus. DNase memecah DNA menjadi fosfo mononukleotida. Enzim ini
merupakan suatu protein yang kompak yang terdiri atas rantai polipeptida
tunggal dan terdapat pada permukaan sel. Aktivitas DNase ini dapatdiketahui
dengan menambahkan bakteri pada deoxyribonuklease
test medium. Setelah dieramkan 370C selama 24-36 jam, koloni yang
tumbuh dituang dengan 1 N HCL atau 0,1% toluidine biru. Bila tampak daerah
terang (halo) padapenuangan HCL atau merah rose dengan toluidine biru disekitar
koloni, ini menunjukkan bakteri menghasilkan enzim deoxyribonuclease (DNase)
0 komentar:
Posting Komentar